Mirip ketika mencoba berbicara soal kisruh Surah Al Maidah. Jika tidak mengutuk Ahok, seolah kita adalah pendukungnya. Tidak ada ruang disana, oposisi biner dan jebakan pro-kontra menggiring audiens untuk terjebak disana. Perilaku dalam berhubungan antar netizen menjadi berubah dan digiring untuk pro atau kontra, untuk mendukung paslon no.1, 2, atau tiga. Padahal, kita bukan pemilih DKI, dan tidak ada hubungannya dengan para paslon di DKI sana.
Tapi, mengapa kita seolah ketinggalan dan terus digiring untuk ikut campur? Mengapa juga bukan 100an pilkada yang lain yang kita urusi? Mengapa hanya Jakarta saja? Jangan -- jangan ini gejala mediatisasi politik seperti apa yang dijelaskan oleh Hjarvard dan Hepp dalam karyanya tentang mediatisasi politik, dan masyarakat, seperti disebutkan di awal tulisan ini.
Lantas ke depannya, di tengah perjumpaan otonomi daerah, pilkada dan pemilu langsung, penguatan politik identitas dan juga globalisasi sekaligus, bagaimanakah gejala mediatisasi, budaya politik, dan politik kebudayaan akan berlangsung? Kita wajib mencermatinya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H