Nasrudin Joha -Â Hihihi, Deny Januar Ali itu memang lucu, menggemaskan. Setelah gagal membuat Framing agar Ustadz Abdul Shomad (UAS) mengambil posisi netral dalam Pilpres, dengan berbagai micin survei, sekarang mau menggembosi peran sentral UAS dalam menentukan preferensi politik umat dengan menyebutnya 'Terlambat Sudah'.
Mungkin jika ada iringan orgen tunggal, Deny JA bisa saja menari sambil bernyanyi 'Terlambat Sudah Kau ungkap Fatwamu, Setelah Umat mengambil pilihannya'. Hihihi, Deny JA mau bilang 'kemarin UAS berfatwa, kagak ngaruh tuh bagi umat'.
Iya sich, fatwa UAS kagak ngaruh jika yang mendengar fatwa adalah barisan Jokower yang sudah taklid buta. Mereka ini, ibaratnya besok mau kiamat, hari ini mereka bukan sibuk beramal, tapi masih tetap sibuk teriak-teriak 'Jokowi dua periode'.
Tapi bagi umat, yang sebenarnya masih ragu, atau sudah memiliki keyakinan tapi belum mau mengungkapkan, atau mereka yang butuh rujukan untuk mengajak saudara lainnya untuk menentukan pilihan, maka fatwa UAS ini sangat menentukan.
Fatwa ini akan jadi argumen, baik kepada sesama saudara muslimin, juga kepada Allah SWT ketika ditanya urusan kepemimpinan. Jelas, secara spiritual dan politik fatwa ini merupakan air bah besar yang meluluhlantakkan barisan kubu Jokowi.
Jokowi tak punya tokoh atau ulama kharismatik, paling banter Deny JA. Yang mencoba membuat pagar keropos yang ingin membendung air bah besar. Berharap bisa mengkanalisasi arus, agar keemohan terhadap rezim Jokowi tak meluas.
Faktanya ? Apa yang diupayakan Deny JA, dengan mengunggah aksara 'TO LATE' hanyalah ikhtiar meraih jerami pada kondisi banjir bandang besar. Tak bisa menyelamatkan diri dari arus perubahan umat, tapi paling tidak bisa dijadikan LPJ kepada pihak yang memesan, bahwa upah yang diberikan telah dikompensasi dengan sejumlah pekerjaan. Meskipun hanya menulis sebuah artikel.
Saya ingin membuat analisis Logis atas pernyataan dukungan UAS kepada 01, imbasnya bagi preferensi politik umat dan konsekuensi yang akan diterima oleh kubu 01 dan 02. Untuk analisis ini, saya tidak menbutuhkan 'dalih' sejumlah angka prosentasi dari survei kaleng-kaleng, untuk menguatkan kesimpulan. Cukup, meminjam 'akal sehat' Rocky Gerung.
Pertama, pernyataan dukungan UAS ini meneguhkan keyakinan umat pada pilihan yang ada didalam dada dan menjadi argument kokoh untuk mengajak saudara sesama muslim lainnya, untuk teguh dengan keyakinan meninggalkan Jokowi sekaligus menarik saudara muslim yang masih 'tersesat' bertaklid buta terhadap rezim Jokowi agar segera meninggalkannya.
Jika pernyataan ini keluar dari Ma'ruf Amin, orang tidak akan tertarik untuk mentaati fatwa. Lha wong fatwa MUI yang haram memilih pemimpin ingkar janji saja dikhianati, apalagi membuat fatwa untuk memilih Jokowi ?
Fatwa Ma'ruf yang meminta umat mengesampingkan Jokowi tapi fokus kepada Ma'ruf sebagai pilihan juga bukan jawaban yang memuaskan akal dan menentramkan hati. Setiap mau mencoblos, otomatis wajah Jokowi muncul. Munculnya wajah Jokowi ini tidak mungkin diabaikan, benak umat langsung teringat peristiwa Ahok, 411, 212, Busukma, Victor laiskodat, Ade Armando, dan tentu saja teringat Habib Rizg Syihab yang dikriminalisasi, Ust Alfian Tanjung yg dipenjara, Gus Nur yang dikriminaliasi, Ahmad Dani, Habib Bahar, dll.
Jadi jelas, fatwa Ma'ruf Amin diabaikan umat. Sementara fatwa UAS pasti didengar dan ditaati.
Kedua, sesungguhnya ada tiga pekerjaan politik penting saat Pilpres ini. Pertama mempertahankan keyakinan konstituen pada pilihan, kedua meyakinkan Undecided Voters agar melabuhkan pilihan, ketiga merontokkan kepercayaan pemilih kepada lawan yang imbasnya akan terjadi migrasi pilihan.
Fatwa UAS ini selain mengokohkan konstituen 02 pada pilihannya, juga meyakinkan Undecided Voters pada waktu injury time ini untuk memilih 02, dan sekaligus menohok dan merontokkan elektabilitas 01 sehingga terjadi migrasi besar-besaran dari 01 menuju 02.
Fakta inilah yang sangat ditakuti rezim sehinga mengutus Deny JA, beberapa waktu yang lalu untuk membuat Framing survei agar mendorong UAS mengambil sikap netral. Langkah ini paling mungkin, sebab memframing posisi UAS agar merapat dan mendukung 01 bisa dikatakan mustahil.
Ketiga, fatwa UAS yang dideklarasikan menjelang Pilpres itu langkah yang sangat tepat, bukan terlambat. Ibarat peluru yang ditembakkan tepat pada sasaran tanpa menimbulkan efek burung lepas dan terbang.
Dengan waktu yang cekak dalam posisi menjelang Pilpres ini, kubu 01 tak sempat membuat pagar pengaman untuk menghalau dampak destruktif fatwa UAS bagi elektabilitas 01. Paling banter ya seperti ini, rezim hanya mampu mengutus Deny JA membuat cerpen puisi esay yang memframing fatwa UAS sudah terlambat, dan tak begitu signifikan bagi Posisi suara pasangan capres 01 atau berdampak menggelembungkan suara 02.
Padahal bagi publik yang nalarnya sehat, siapa sich Deny JA ? Apa yang bisa dilakukan oleh secarik tulisan cerpen esay untuk menghambat gelora umat yang terbawa arus besar fatwa UAS ? Deny JA dibanding UAS itu ibarat langit dan bumi.
Jadi dari uraian tersebut diatas, sudahlah, Jokowi sudah selesai. Bangunan pagar yang dibangun Deny JA melalui cerpen esay-nya, itu ibarat bangunan istana pasir yang pasti luluh lantak cukup dengan satu hempasan ombak. [].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H