Persis di situ, keadaan menjadi dilematis untuk saya pribadi (mode curhat). Sebab  situsi semacam ini seakan menjadi lingkaran setan tersendri; orang tua si perempuan di pengaruhi oleh keluarga besar suku (termasuk om dan tanta), om dan tantanya dipengarihi oleh lingkungan tentangga.
Maksud saya, jangan disamakanlah. Ketika punya si A 100 juta, ya gak harus dong saya juga demikian. Karena 100 juta bagi saya, dengan UMK Kota Semarang dipotong kontrakan, jajan, dan gacoan, belum lagi TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) itu berbeda dengan 100 juta disupport warisan keluarga.
Saya tidak sedang mengesampingkan ritus yang menjadi kepercayaan budaya kami, sebab ia menjadi nilai dengan sakralitas dan substansinya dalam perkawinan adat. Melainkan terjebaknya kita, termasuk saya, dalam lingkungan yang toxic dan itu bukan citra kebudayaan tapi normalisasi dari isu tetangga.Â
Ini penting untuk duduk bersama guna membuka semua kejanggalan. Sebab semua ritus kepercayaan ada ganjalannya. Kendati hanya modal keyakinan, bahwa suara ketulusan akan membuka jalan kemudahan disetiap kesulitan. Barang kali itu cinta jauh lebih matang.
Demikian keluh kesa yang belum sempat saya ucapkan, barangkali admin bisa bantu loloskan. Biar bisa di share ke grup keluarga, kebetulan pada suka membaca. Itung-itung bisa cicil point tulisan, insya allah tahun depan nikahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H