Jumpalitan Waktu
Waktu adalah masa. Adalah peradaban. Begitu istimewa. Bagai bintang kelas satu. Hingga Tuhan pun berani bersaksi demi waktu.
Waktu dan Peradaban
Waktu adalah penanda kehidupan. Merotasi dan merevolusinya bumi sebagai penanda waktu menjadi tolak ukur bergulirnya kehidupan dalam tatanan galaksi Bimasakti. Adanya pergeseran siang dan malam, jumlah 365 hari dalam setahun, serta penanggalan kabisat, semuanya terangkum dalam satu kata: waktu. Bulan dan bintang pun turut menjadi penanda waktu. Menjadi kompas alam sebuah peradaban besar di masa silam. Segala letak tatanan benda angkasa yang dikenal dalam ilmu astronomi bukan begitu saja berhamburan dan melayang di ruang hampa udara. Segalanya sempurna beraturan dalam ketidakteraturan. Dan sekali lagi, mereka menjadi penanda alam semesta, penanda kebesaran Tuhan : penanda sang waktu.
Dalam sejarah pengembaraan orang Bugis dan Makassar, bulan dan bintang menjadi penanda waktu yang luar biasa. Menjadi penanda kapan musim kemarau dan musim angin akan datang. Menjadi penanda waktunya bercocok tanam dan menentang badai. Menilik sejarah nenek moyangku, dunia tidak membantah bahwa suku Bugis dan Makassar pernah menjadi perampok terhebat di seluruh dunia. Tome Pires –pengembara Portugis yang pernah ke Indonesia pada abad ke XVI – mengakui bahwa “bangsa Bugis dan Makassar adalah orang-orang yang kafir, gagah, dan suka berperang” (Hamid: Pengembaraan Orang Bugis, hal 2).
Mereka jaya pada masanya. Jaya melintasi samudra, merampok hingga menembus Asia Tenggara sampai Eropa. Mereka adalah raja lautan. Raja Maha Diraja pada masanya. Mereka membentuk peradaban hampir di seluruh tepi benua. Ada yang membudaya hingga hingga kini, namun ada pula yang tertelan masa. Waktu yang berjalan merambat tapi pasti menggilas zaman. Hingga semua kejayaan akan tercatat dan tersimpan sebagai sebuah sejarah.
***
Waktu masih menjadi tonggak peradaban hingga kini. Jika dulu pusaran bulan dan bintang menjadi penanda waktu yang paling mutakhir, saat ini bulan dan bintang meredup seiring waktu yang mencipta begitu banyak asap dan polusi. Membuyarkan binaran bintang dan bulan, memaksa penggunaan teleskop sebagai alat bantu dalam pembacaan tanda-tanda langit.
Waktu kembali berkata-kata. Waktu tidak pernah diam. Bergulirnya waktu bukan tanpa perubahan.Dan tentu saja, waktu kembali membungkus peradaban. Dunia masa kini telak dihantui pusaran waktu. Ketika waktu tidak bisa menunggu dan manusia berlarian, berkejaran dengan waktu.
Slogan tentang waktu pun bermunculan. Menyebut waktu sebagai uang (ini bagi otak-otak pebisnis). Orang-orang seperti ini melihat waktu sebagai mesin pencetak rupiah. Waktu tidak lagi dimaknai sebagai masa untuk berproses dan berkembang. Waktu menjadi sesuatu yang berlari dan perlu dikejar. Menjadi tolak ukur untung dan rugi. Peradaban baru berkembang. Peradaban berpondasi materialisme yang kemudian berkembang menjadi kapitalisme. Anak pinak peradaban, dari gempita dalam kejayaan menjadi ambisius atas nama waktu.
Peradaban ini membunuh
Berimbas kepada rotasi mode yang lagi-lagi berburu waktu. Mode, begitu lekatnya kata ini menempel pada gairah hidup anak-anak muda. Jangankan anak muda, orang tua pun terkadang lupa usia, terbius mode hingga banyak dari mereka yang menanggalkan kebaya, sarung, daster, dan gamis beralih pada celana botol dan baju-baju ala Korea.
Ini hanya persoalan waktu, mode berputar begitu cepatnya. Kain berenda, warna-warna cerah, hingga baju kebesaran dan stel dalam yang pernah berjaya kala ibuku masih muda, lalu mati tergantikan mode serba mini dan ketat, sekarangini kembali menjadi sorotan. Mode berubah. Berputar kembali ke-era artis Widyawati masih berjaya. Industri tekstil kebanjiran pekerjaan, mencetak pakaian-pakaian yang begitu cepatnya berubah berdasarkan waktu. Sementara waktu terus bergulir, mode pun ikut mengekor dibelakangnya, dan sekali lagi, korban mode terpaksa harus ngos-ngosan mengejar mode yang terus berubah. Takut disebut ketinggalan zaman, korban mode ternyata telah menjadi budak zaman. Sama seperti para pebisnis, para korban mode berlarian mengejar waktu yang tidak pernah menunggu.
Bergulirnya waktu tidak lantas menjadi bahan evaluasi diri. Berjayanya para pelaut Bugis Makassar, kehebatan peradaban Islam di hampir seluruh benua, serta kebijaksanaan para philosofis dan kecerdasan para ilmuwan yang mampu mencipta ribuan teori yang masih berlaku hingga kini sepertinya ikut terkubur dalam baris waktu. Tidak ada pertanyaan kenapa masa jaya itu berakhir dan bagaimana cara mengembalikannya. Tidak ada keheranan tentang kokohnya pandangan Socrates, Aristoteles, dan sekawannya yang berani mencipta pilar-pilar ilmu pengetahuan. Tidak ada kebingungan, mengapa kemajuan zaman tidak lantas mencetak orang-orang cerdas selevel Albert Einsten.
Peradaban masa kini tidak lagi mengenal ketangguhan dan pantang surut kala layar sudah terkembang. Tidak lagi mengenal ketangguhan dalam mencoba dan gagal seperti Thomas Alfa Edison yang gagal dalam lima puluh kali percobaan sebelum berhasil menemukan lampu. Peradaban masa kini menerjemahkan waktu dalam timbangan. Menerjemahkan waktu sebagai bola yang gulirnya harus dikejar. Mereka terburu-buru, keteteran, bahkan ketakutan waktu akan berlari jauh dari mereka.
Kemerosotan ilmu terjadi. Kemerosotan iman apalagi. Yang ada adalah buncahan korban mode dalam gilasan zaman. Sebuah peradaban baru. Peradaban yang membunuh. Waktu menjadi saksi sebuah peradaban berakhir dan lahir kembali. Ketika pusat-pusat perbelanjaan memasang lampu untuk mengelabui waktu, menciptakan siang ditengah malam buta, saat itu manusia membuktikan ketidakberterimaan mereka akan keadilan Tuhan. Sengaja menyingkirkan malam dengan rupa-rupa taman penghiburan, menghidupkan sebuah peradaban tak kenal waktu. Bukan untuk lebih mengenal Tuhannya, melainkan untuk mencipta Tuhan-Tuhan dalam bentuk yang lain, modernisasi.
***
Dan segalanya menjadi benar, ketika Tuhan menjanjikan kerugian kepada penghamba waktu yang lupa dan terlena, kecuali pada mereka yang beramal saleh, yang insaf bahwa waktu pada akhirnya akan menemui keberakhiran masanya. Hingga hancur dan melebur.
***
Ridha, Makassar
Santri Kelas Bahasa, Pare
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI