Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Seribu Wajah

3 Januari 2014   17:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru Seribu Wajah

Aku pernah bercita-cita menjadi seorang dokter. Pernah pula bermimpi menjadi astronot. Berlanjut kepada mimpi menjadiseorang arsitek. Waktu itu aku yakin betul bahwa aku punya bakat dibidang seni bangunan. Padahal waktu itu aku masih kelas 4 SD. Namanya anak-anak, guru kami memaksa kami bermimpi. Dan tidak ada pilihan lain selain mengukir mimpi kami walaupun kami sama sekali tidak tahu cara untuk mencapainya.

Aku ingat betul kejadian di hari itu, saat guruku di SD bertanya,

“Apa cita-cita kalian?”

Satu per satu menjawab. Dimulai dari anak pertama yang menyebut “dokter” sebagai cita-citanya, kemudian berlanjut kepada anak kedua yang juga menyebut ‘dokter’. Hal yang sama berulang kepada anak ketiga, keempat, kelima, hingga secara kompak kami hanya menyebut satu profesi impian kami: menjadi seorang dokter.

Waktu itu guruku hanya tersenyum dan berkata,

“Ibu senang sekali kalau kalian semua menjadi dokter. Kalau ibu sakit, kalian bisa mengobati ibu. Tapi kalau semua jadi dokter, lalu siapa yang mau menjadi guru?”

***

Pertanyaan ini mengendap begitu saja dalam alam bawah sadarku. Terendap dan tertumpuk dengan ragam obsesi dan mimpi . Ingin menjadi apa aku kelak, tentu bukan menjadi ‘guru’ jawabannya. Menjadi seorang guru tidak pernah masuk dalam list mimpiku. Itu bukan cita-citaku. Cita-citaku tidak sesederhana itu.

***

Tahun berganti.

Aku semakin dewasa dengan potongan-potongan ingatan tentang mimpi dan cita-cita yang masih kusimpan. Tapi semuanya berubah. Persepsiku berubah. Dan perubahan itu tidak terjadi dalam satu waktu. Menjadi guru bukan lagi menjadi hal yang tabu bagiku. Bahkan ini menjadi menarik, saat semua teman-temanku berambisi untuk menjadi wanita karir, dosen, pegawai bank, dan ragam pekerjaan yang menjanjikan kemapanan dalam hal ekonomi, aku lantas menetapkan satu mimpi dalam hidupku; menjadi guru. Menjadi guru di daerah terpencil. Menjadi guru di kampung.

Kalau ditanya apa alasan perubahan persepsi itu, maka aku akan punya rangkaian cerita panjang untuk menjelaskannya. Semuanya diawali ketika aku sudah berada pada masa-masa penyelesaian studiku.Waktu itu aku dan beberapa temanku mempunyai kewajiban untuk mengajar di beberapa sekolah di daerah Bulukumba. Salah satu lokasi mengajar kami berada cukup jauh dari kota kecamatan dan kami harus melalui enam titik longsor untuk sampai kesana. Hari itu cuaca buruk. Hujan sepanjang malam membuat jalan menjadi licin. Teman-temanku memutuskan untuk bolos mengajar hari itu. Entah mengapa, keputusan mereka menyulut kemarahanku. Ada rasa ketersinggungan disana. Ada perasaan marah yang tiba-tiba saja memuncak. Dan ada rasa kecewa.

Bayangan murid-muridtanpa alas kaki, buku yang dibungkus dengan kantong plastik, dan senyum sumringah mereka menyambut kedatangan guru semakin menyakitkan hati. Aku masih ingat bagaimana mereka berlarian menyambut guru yang datang untuk mengajar mereka.Penyebabnya sederhana, tidak ada guru disana. Dalam seminggu mereka hanya belajar dua jenis mata pelajaran: bahasa daerah dan olahraga. Kenapa? Karena tidak ada tenaga pengajar. Kata orang, lokasinya yang jauh membuat para guru yang ditempatkan disanamalas untuk mengajar. Parahnya lagi, mereka menyebut sekolah itu sebagai sekolah pembuangan. Guru-guru yang teridentifikasi sebagai guru malas dan punya banyak pelanggaran, akan mengalami mutasi ke sekolah tersebut. Hal ini malah memperparah keadaan.

Lalu bagaimana jadinya kalau kemalasan itu juga menjalar kepada kami? Membuai kami dalam perilaku yang pada akhirnya tidak akan membuat beda antara kami dengan para guru yang boleh dikata “tidak becus” itu? Lalu bagaimana dengan anak-anak itu? Anak-anak yang tidak hanya membawa buku dalam kantong kresek mereka, tapi juga membawa harapan dan mimpi di bahunya.Mereka semua masih SD. Mereka terlalu muda untukberjalan kaki menempuh jarak beberapa kilometer dengan segala keterbatasannya, hanya untuk bertemu dengan seorang guru. Setega itukah kami menghancurkan mimpi mereka? Meluruhkan senyum mereka dan menghadiahi mereka dengan kekosongan? Sungguh, aku tidak bisa menerima itu.

Dan sejak saat itu, kuputuskan, aku memilih jalan ini. Alasannya sederhana, karena aku hanya ingin membantu mereka.

***

Menjadi guru, apakah benar sesederhana itu? Sesederhana alasanku memilih jalan ini?

Belakangan baru kusadari menjadi guru itu tidak sederhana. Menjadi guru itu cukup kompleks. Guru dengan seribu anak. Aku selalu percaya, setiap diri yang kudidik, setiap jiwa yang ada di dalamnya, mempunyai mantra maha ajaib yang bisa mengalirkan pahala tak berujung padaku, jika kelak sudah tiba waktuku untuk menghentikan aktivitas keduniaanku.

Menjadi guru memang bukan cita-citaku sejak awal. Tapi kusadari, ini pilihanku. Saat teman-temanku bertanya,

“Kenapa tidak memilih untuk menjadi dosen?”

Jawabanku sederhana,

“Sudah terlalu banyak yang mau jadi dosen.”

“Terus mau ngajar dimana?”

“Di kampung.”

“Kenapa tidak di kota saja?”

“Banyak yang mau jadi guru di kota. Tapi kurang yang mau mengajar di kampung.”

“Lalu kenapa kamu memilih kampung?”

“Saya hanya mau pemerataan.”

Dan itu menjadi alasan kuat kenapa kemudian aku memutuskan untuk mengikuti salah satu program pemerintah mengirim tenaga pendidik ke daerah terpencil. Saat itu aku berpikir, Tuhan menjawab doa-doaku. Maka dengan langkah seringan-ringannya langkah, aku berangkat ke NTT. Menjejak pedalaman Sumba Timur dengan satu tujuan, mengabdi.

***

Dan aku melihat wajah guru yang lain disana.

Keberadaanku di Sumba Timur semakin melebarkan pandangku tentang cerminan dunia pendidikan Indonesia. Harus kusadari, ketidakmerataan pendidikan Indonesia benar-benar tampil secara telanjang. Ketimpangan itu tampak nyata yang secara kasar dapat kusimpulkan bahwa semakin ke Timur, kualitas pendidikan itu semakin rendah. Bukan hanya dari segi fasilitas tapi juga dari kualitas tenaga pendidik.

Guru. Ya, sebut saja mereka seorang guru, karena memang pekerjaan mereka adalah mengajar. Jangan tanya soal latar belakang pendidikan mereka. Toh yang penting mereka punya jam mengajar, tidak peduli seberapa mampu mereka mengendalikan kelas. Sarjana ataupun lulusan SMA bukan menjadi soal.

Metode pendidikan dalam buku-buku ampuh tata cara mengajar pun meluruh. Awalnya itu semua menjadi kejutan bagiku. Kekerasan yang tidak semestinya ada dalam dunia pendidikan, ternyata menjadi salah satu cara paling efektif dalam mengendalikan anak didik. Setiap satu tamparan di wajah siswa menghasilkan satu debaran yang berpacu dalam rongga dadaku. Ada yang tidak beres disini. Ada yang salah. Lalu apa?

Jika di Jawa, satu pukulan terhadap siswa bisa menjerat sang guru menghadap ke kantor polisi, lalu bagaimana dengan daerah Timur yang menjadikan tamparan sebagai salah satu pemberi efek jera paling efektif? Ini persoalan budaya. Persoalan sikap dan persoalan pola asuh yang tentunya berbeda.

Kuinsafi benar-benar, Bhineka Tunggal Ika ternyata hanyalah sederatan kata maha dashyat yang sanggup mengikat serakan kepulauan Indonesia. Membungkus kita dalam satu kata “Indonesia”. Toh kenyataannya lain padang tetaplah lain ilalang. Belakangan aku berpikir, pembuat kebijakan negeri ini apakah pernah, sekali saja menjejak setiap jengkal tanah Indonesia sebelum menetapkan sebuah kebijakan? Atau mereka hanya berangan-angan, mencipta imajinasinya sendiri dalam ketidaktauan dan memaksa diri tampil menjadi sosok yang serba tahu?

***

Aku melihat banyak guru disini. Di tanah tempat ratusan gundukan tanah kapur mengerucut hampir di tiap jengkalnya. Mereka sedang sibuk berkutat dengan dokumen satu dan dokumen dua yang sama sekali tidak kumengerti pada jam-jam dimana mereka seharusnyabercengkrama dan berkisah tentang ilmu. Bukankah mengalirkan ilmu itu menyenangkan? Membeningkan pemahaman dari endapan lupa. Lalu ada apa dengan mereka? Kelas-kelas dibiarkan kosong. Perpustakaan juga hanya menjadi pajangan. Murid-murid malah berpesta, berkeliaran, berkejaran, sambil sesekali memaki satu sama lain.

Guru. Apa yang sebenarnya mereka lakukan?Apa mereka sudah lupa hakikat keguruan mereka? Hal ini benar-benar menyedihkan. Membuatku patah dan merobek setiap jahitan mimpi yang selama ini kulambungkan. Menjadi seorang guru.

Kerap aku mengutuk mereka. Mengutuk bonus-bonus perlambang kemurahan hati pemerintah atas nama sertifikasi. Para guru sekarang berubah wajah. Oemar Bakri tidak lagi bersepeda. Oemar Bakri bermobil sekarang. Para guru dengan gesitnya menyusun semua kelengkapan berkas demi satu tujuan, uang sertifikasi. Para guru secara perlahan sudah lupa, ada banyak wajah yang menunggu mereka. Ada banyak jiwa yang butuh asupan ilmu. Ada banyak pilar-pilar kebodohan yang harus mereka robohkan. Pengaruh uangdan kesejahteraan sosial tampaknya mengikis esensi keguruan dalam diri para guru. Dan ini benar-benar memuakkan.

Hampir setiap hari, kudapati para siswa yang sibuk menyalin buku cetak ke dalam buku tulis. Alasannya sederhana, para guru sedang sibuk mengerjakan urusan mereka masing-masing. Ada yang bergosip, main catur, facebook-an, ataupun tengah menenggelamkan diri dalam pemenuhan tuntutan terhadap berkas.

Guru masa kini lebih senang bercinta dengan berbagai dokumen. Bermesraan dengan serakan kertas yang mereka percaya akan menuntun mereka ke jalan kebaikan. Dokumen itu menjadi hidup sementara para wajah yang menengadah haus ilmu hanya menjadi pelengkap dan pengingat bahwa mereka masih seorang guru, bukan sekertaris bos besar.

***

Rentetan kejadian berlalu saja. Setiap hari kudapati kepahitan-kepahitan yang semakin mencuilkan mimpi yang pernah begitu melambung. Saat ujian nasional, para guru berkomplot memberi jawaban kepada siswa. Ini bukan rahasia lagi. Seperti pohon, perilaku ini sudah mengakar kuat. Membudaya dalam system pendidikan kita. Aku masih ingat hari itu, saat salah seorang guru memintaku dengan sopan untuk mengisi lembar jawaban bahasa Inggris pada saat Ujian Nasional. Waktu itu aku menolak dengan tegas. Ini persoalan watak, persoalan karakter yang akan dunia pendidikan bentuk. Waktu itu aku hanya berpikir seperti ini, “Mau sampai kapan kita membudayakan pembodohan?”. Sudah terlalu banyak orang bodoh di Indonesia. Dan kurasa itu sudah cukup. Tidakperlu ditambah lagi.

Saat rapat kenaikan kelas, tiba-tibaaku melihat wajah para guru berubah menjadi wajah para penjual di pasar. Ruang rapat lantas berubah menjadi pasar. Suasana riuh benar. mereka, para guru itu, sedang berdagang. Mereka melakukan transaksi tawar menawar. Dan yang menjadi barang jualan saat itu adalah nilai siswa.

“Kita naikkan berapa nilai anak-anak kita?”, tawar-menawar dibuka pertama kali oleh ketua pasar, alias bapak Kepala Sekolah. Tujuannya sederhana, ia ingin semua siswa mendapat nilai yang bagus.

“Bagaimana kalau naik dua?”, sahut salah seorang guru.

“Naik tiga saja.”

“Dua saja.”

“Gimana kalau tiga? Rasanya itu sudah pas.”

“Bagaimana dengan bapak dan ibu guru yang lain? Sepakat nilainya kita naikkan tiga angka?”, penawaran terakhir dari bapak Kepala Sekolah

“Ya. Sepakat. Tiga angka.”, forum akhirnya memutuskan.

Transaksi selesai.

Dalam pandanganku kala itu, nilai siswa tidak ada bedanya dengan tomat yang dijual di pasar. Ada proses tawar menawar dalam pemberian nilai akhir. Dan sekali lagi, ini membuatku patah. Idealismeku tentang guru semakin menguap. Kekecewaan itu menganga kian lebar.

Guru berubah wajah. Dan aku tidak melihat pendaran cahaya disana. Cahaya mereka memudar, memburam seiring dengan semakin ahlinya para guru menjadi tukangmanipulasi data.Saat itu, aku hanya bisa menangis.

Tidak berhenti sampai disitu. Kepahitan demi kepahitan susul menyusul seperti anak panah yang sengaja dilepas dari busurnya. Kuakui, Guru itu bukan Tuhan. Tapi aku juga menyadari, guru adalah perpanjangan tangan Tuhan dalam bersabda. Lalu apa jadinya ketika sabda-sabda itu terlecutkan oleh mereka yang memalingkan wajah dari titah Tuhan? Saat berbicara tentang moralitas, mereka menggebu-gebu dan tampak tahu dengan baik segala lekuk dari imoralitas. Mereka berkoar-koar dan mengutuk tindakan diluar batas norma. Mereka paham teori bermasyarakat dengan baik. Mereka tampil secara ekslusif dengan ragam teori sekedar membuktikan mereka bukan orang bodoh.

Aku ingat betul bagaimana seorang guru mengutuk siswanya yang hamil di luar nikah. Waktu aku diam saja dan mendengarkan. Sang guru masih berkomentar, mengalirkan kritik atas perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak yang baru berumur 15 tahun. Aku menghela napas, memintal pikiranku sendiri. Mengapa dia begitu antusias mengkritik anak asuhnya sendiri? Apa dia hanya ingin tampil sempurna didepanku? Tidak tahukah dia bahwa keterkejutanku pada siswa yang hamil di luar nikah itu tidak lebih besar daripada keterkejutanku padanya?Suatu hari, saat berkunjung ke rumahnya, kudapati foto pengantin sang guru mengenakan seloyor di sebuah gereja. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Ada sosok anak kecil ditengah-tengah mereka. Dan aku tahu pasti siapa anak itu. Anak laki-laki yang juga mengenakan jas tutup berusia kira-kira 6 tahun itu tidak lain adalah anak mereka sendiri. Anak mereka berdiri ditengah-tengah orang tua mereka yang baru saja menikah hari itu.Mereka bertiga berfoto bersama.

Tentu saja ini membingungkan bagiku. aku yang berasal dari tanah yang berbeda menjumpai banyak keterkejutan di tanah yang baru kupijak itu. Nilai guru seketika meredup. Guru PKN yang sibuk berkoar-koar tentang moralitas, ternyata malah melakukan banyak penyimpangan moral. Mereka berselingkuh kemudian ketahuan oleh seluruh warga kampung. Ada juga guru yang hamil di luar nikah. Belum lagi guru yang menghabiskan sepanjang hidupnya dengan tinggal bersama lawan jenis tanpastatus ikatan pernikahan yang sah. Lalu untuk apa mereka rusuh mengurus soal moral orang lain?

***

Semuanya kemudian membuatku menjadi lelah.

Semua ketimpangan yang terjadi tentu saja mengguncang alam bawah sadarku yangmenganggap mengajar adalah salah satu anak tangga meraih cinta Tuhan. Guru yang kutemui belakangan ini kebanyakan hanyalah guru yang bertopeng. Menjunjung tinggi berbagai asas hidup dan tampil elegan dalam balutan pendidikan yang membuatnya tampil menawan. Janji sertifikasi guru membuat orang-orang berbodong-bondong menjamah fakultas ilmu pendidikan yang dulunya sepi peminat. Guru kemudian naik level. Guru bukan lagi orang yang hanya mengapit buku dan mistar di ketiaknya. Guru saat ini adalah mereka yang menenteng laptop dan sibuk mengucap kata dokumen satu dan dokumen dua.

Guru saat ini kebanyakan sudah lupa.Dan ini membuatku semakin terpuruk dalam kekecewaan yang pada akhirnya membenci sistem yang ada. Aku muak. Benar-benar muak. Kubayangkan dunia ini akan lebih simple tanpa janji. Janji sertifikasi misalnya, cukup mampu membelokkan fokus seorang guru. Bukan lagi memperkaya anak didik dengan tumpahan wawasan yang menjadi utama, melainkan memperkaya diri sendiri dengan tumpahan materi yang bergelimang. Fokus mereka pecah. Yang tanpa mereka sadari pecahan itu membuat para anak didik semakin malas untuk melangkah. Mereka dipaksa untuk bermimpi, menyuarakan bahwa mimpi itu gratis dan setiap orang berhak untuk itu, tapi mereka -anak didik itu- malah tidak diberi tangga yang pantas untuk meraih mimpi mereka. Guru kemudian berubah sosok menjadi pembual sejati.

Bayangan pahala yang tak berujung kemudian berganti rupa. Menjadi guru yang awalnya kubayangkan bisa menjadi penghantar yang baik dalam menelusuri pelataran surga, malah berbalik dan kuanggap sebagai raksasa yang senantiasa mendorongku ke jurang dosa yang mungkin akan membuatku kekal di neraka. Dan itu membuatku cukup bergidik ngeri.

***

Guru itu pemahat. Dan siswa adalah bahan mentah yang siap untuk dipahat. Dibutuhkan pemahat yang telaten dan sabar untuk mencipta hasil karya yang luar biasa. Bisa dibayangkan apa jadinya jika guru yang hendaknya memahat anak-anak didikdengan telaten dan sabar sibuk merecoki mereka dengan pembiasaan-pembiasaan yang memanjakan, menganggap bahwa pelanggaran-pelanggaran kecil yang mereka lakukan adalah hal biasa yang tidak perlu mendapat perbaikan?

Semakin lama aku semakin menginsafi banyak hal. Guru dengan segala wajah barunya. Lalu apakah aku lantas memilih untuk berhenti dari jalan yang kupilih selama ini?

Aku melakukan perenungan yang cukup lama untuk itu. Memilih berhenti bisa jadi menjadi solusi yang baik untukku. Tapi aku yakin itu bukan yang terbaik. Perjuangan tidak harusnya berhenti di tengah jalan, meski kusadari sepenuhnya, sulit bagiku untuk berjalan sendirian. Aku butuh penopang. Aku memang bukan Kartini atau Dewi Sartika yang mampu berdiri ditengah semua gempuran badai yang menohok. Aku hanya seorang perempuan yang ingin mengabdikan diri. Aku terlalu lelah dengan segala kepincangan sistem yang kurasa tidak adil. Dan aku hanya ingin keadilan.

Mungkin bukan sekarang, tapi nanti. Biarkan aku berhenti sejenak, hingga nanti aku punya cukup kekuatan untuk kembali. Karena aku percaya, mengajar itu panggilan jiwa. Dan guru, bukan sekedar profesi, ada doa disana. Ada harapan akan nasib sebuah bangsa. Dan dari tangan seorang gurulah, tunas-tunas itu bermekaran.

***

Surat untuk sang guru:

“Kami butuh guru. bukan guru sekedar guru matematika yang paham aljabar dan ilmu ukur lainnya. Bukan sekedar guru yang tahu tata cara berbahasa, ilmu alam, dan ilmu sosial. Kami butuh lebih dari itu. Kami butuh guru yang tidak bertopeng. Kami butuh guru yang mampu mengikis kebodohan kami. Bukan guru yang sibuk mengurus kesejahteraan keluarganya. Jangan ajari kami cara menumpulkan otak.Membiarkan kami semakin bodoh dengan ragam contekan yang semakin mempertegas betapa bodohnya kami sehingga kami perlu dibantu. Kami butuh guru. Guru kehidupan, bukan sekedar guru yang hidup. Kami benar-benar butuh sosok itu.”

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun