" Dont judge book by its cover " itu yang terlintas di pikiran saya setelah membaca buku " Mendidik pemenang bukan pecundang ". Dalam bayangan saya buku ini memberi kiat bagaimana mendidik anak anak yang punya prestasi di luar sekolah misalnya prestasi di bidang olah raga agar tidak jadi pecundang atau dipecundangi di sekolah. Ternyata bukan, buku ini hanyalah tulisan lepas dari dua orang penulisnya mengenai banyak hal dalam dunia pendidikan yang kemudian disatukan dalam buku ini.
Tetapi yang namanya buku pendidikan di tengah carut marut dunia pendidikan kita tetap saja menarik. Apalagi buku ini dalam hampir setiap halaman selalu menyoroti masalah pendidikan apakah itu tentang guru, orangtua, murid, sekolah, kurikulum atau politik pendidikan. Tetapi saya lebih tertarik dengan latar belakang salah satu penulisnya yaitu Dhitta Puti Saraswati. Beliau ini lulusan teknik mesin ITB lalu mengambil master tentang pendidikan matematika di Bristol University, UK. Tapi bukannya bekerja sebagai engineer tapi dia malah jadi guru dan menekuni menjadi guru privat dari rumah ke rumah.
Di beberapa bagian dari bukunya ini sang penulis sering ditanya kenapa jadi guru. Bahkan muridnya sampai menanyakan " Ibu bahagia yah ? Guru kan nggak sejahtera ?". Atau pertanyaan yang lebih memojokkan " Tapi muka ibu memelas gitu. Kayak nggak bahagia. " Saya juga pernah bertanya dalam hati melihat banyak iklan dan brosur tentang " Tuition " di singapura. Kenapa orang orang yang bergelar master dari UK, US dan Australia ini cuma kerja sebagai guru privat matematika, fisika atau bahasa inggris. Bahkan banyak yang keluar dari tempatnya bekerja yang lebih mapan hanya untuk menjadi tutor.Â
Di Singapura uang sekolah perbulan tergolong murah,  untuk primary school ( sekolah dasar )  gratis,  secondary school (sekolah menengah )  S$ 5, untuk pre university S$ 6. (Itu untuk warga negara singapura karena untuk permanent resident dan Internasional student ada tarif sendiri). Meskipun begitu orang tua  di singapura harus keluar uang perbulan sampai ratusan dolar untuk membayar guru privat untuk pelajaran matematika, fisika, kimia bahasa inggris atau yang lain. Ikut les privat seminggu sekali atau empat kali sebulan bisa menghabiskan 300 dolar singapura atau lebih. Mengapa ? Mereka mau mendapat nilai yang terbaik dari usaha yang maksimal bukan pasrah pada pelajaran di sekolah begitu saja. Bayangkan bagaimana penghasilan guru privat atau tuition teacher kalau punya 30 murid atau 50 murid, penghasilannya bisa  lebih besar dari kerja di kantor. Saya pernah baca di Strait times selama setahun bisnis tuition atau les privat ini bisa mencapai nilai sebesar 6 milyar dolar singapura untuk skala nasional. Jumlah yang tidak sedikit tentunya.
Di Singapura guru les privat atau disebut tuition dikenal dari reputasinya mengubah kemampuan anak anak yang biasa saja menjadi luar biasa. Anak anak yang fail menjadi mendapat nilai A. Tapi di singapura yang ikut tuition bukan hanya anak anak yang fail. Sistem pendidikan disini memakai jalur express, biasa dan tehnical untuk secondary school, jadi bisa  diselesaikan dalam waktu  3 tahun (cepat) 4 tahun (biasa) atau 5 tahun (lebih lambat). Bagi yang memenuhi syarat ke junior college lanjut ke universitas setelah secondary school bagi yang tidak memenuhi syarat lewat  jalur lain ke politeknik dulu baru ke universitas. Ini jelas memaksa anak anak untuk mendapat nilai terbaik agar sekolah bisa lebih cepat dan masuk universitas. Itu sebabnya anak anak yang nilainya A- apalagi B masih saja ikut tuition agar bisa mendapat nilai A+.
Saya pernah tanya kepada seseorang apa sih bedanya guru di Indonesia dan singapura misalnya untuk pelajaran matematika. Dia hanya menjawab guru di Singapura mengajarnya lebih sabar dan punya banyak cara untuk menerangkan materi pelajaran. Tentu guru les privat atau tuition yang punya reputasi bagus  kemampuannya  lebih dari itu. Mereka konon mempersiapkan bahan dengan riset ke sekolah sekolah terbaik dan menyiapkan metode mengajar dan pendekatan yang terbaik bagi masing masing siswa yang latar belakangnya bermacam macam. Biasanya orang tua yang membayar mahal punya target atas anaknya yang disanggupi akan dilakukan oleh guru privatnya. Kalau anaknya fail matematika dia bisa minta target anaknya dapat B atau A. Persaingan sesama tuition teacher yang ketat dan kontrol orang tua yang begitu teliti menyebabkan mereka berlomba untuk memberikan hasil yang terbaik.
Di Indonesia rasanya masih jauh dari itu. Kualitas pendidikan di Indonesia masih beragam dari satu sekolah ke sekolah lain dari satu kota ke kota lain. Persaingan di bangku sekolah belum apa apa dibandingkan dengan persaingan anak anak sekolah singapura yang di dunia pendidikan internasioanal dikenal dengan " pressure cooker system " itu. Di Indonesia guru privat perorangan atau dari lembaga pendidikan di luar sekolah laris bukan main menjelang ujian nasional atau ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tapi tidak ada yang berani memberikan jaminan bisa merubah anak anak yang tertinggal menjadi luar biasa. Paling mereka cuma membantu mengerjakan PR atau soal soal ujian tahun lalu agar dapat nilai baik. Di singapura guru privat seperti itu  ada yang menjuluki guru privat kelas " baby sister ".  Di atas itu masih ada guru privat yang punya kemampuan lebih dari dari sekedar mengajari membuat PR dan mengerjakan soal ujian tahun lalu.
Rasanya kita sangat membutuhkan orang orang pintar apakah lulusan S1 atau S2  bahkan lulusan luar negeri untuk terjun sebagai guru privat bagi anak anak SMP dan SMA. Karena mereka  akan  menjembatani ketimpangan antara murid dan guru disekolah. Ketimpangan yang terjadi karena banyak hal,  seperti ratio guru murid yang tidak layak, guru yang banyak mengerjakan tugas tugas administratif dan aktifitas lainnya. Atau metode dan pendekatan mengajar yang selalu pukul rata untuk masing masing anak, tidak adanya workshop berkelanjutan untuk meningkatkan kecerdasan guru mengajar. Dan tentu saja soal pendidikan dan rekruitment guru yang juga masih harus dibenahi.
Seandainya saja guru les privat di negara kita dihargai sama dengan tuition teacher di singapura tentu banyak lulusan terbaik di universitas atau lulusan luar negeri mau menjadi guru privat. Ini tentu menjadi sumbangan tersendiri bagi mutu pendidikan di Indonesia. Singapura menduduki peringkat pertama diantara 57 negara lain di dunia untuk kemampuan di bidang matematika dan science bagi anak anak primary dan secondary school berdasarkan Trend in International Mathematic and science study (TIMSS). Sementara menurut Program for International Student Assesment (PISA), OECD (The Organisations for Economic Cooperation Debelopment), Singapura juga menduduki ranking pertama diantara 70 negara di dunia untuk kemampuan matematika, science dan membaca bagi anak anak sampai dengan usia 15 tahun. Saya yakin ini tidak lepas dari jasa para guru tuition atau les privat tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H