Berita-berita yang tersebar di linimasa tak bisa terelakkan. Semua silih berganti melintasi berada kita. Ada yang benar, ada yang hoaks; tak bisa kita hindari. Kecuali dengan memblokir satu persatu akun yang menyebarkan. Semakin banyak akun yang kita blokir, rasanya semakin banyak pula yang lain bermunculan.
Tombol berbagi rasanya menjadi fitur yang paling dicari para penyebar berita. Ketika judul dirasa cocok dengannya, terabaikan sejenak apakah tulisan itu memprovokasi atau tidak. Penting jemari menekan tombol "bagi" lalu memantau komentar yang berdatangan. Pun jika salah, alih-alih meminta maaf dan menghapus, mereka hanya menuliskan kalimat "Saya dapat dari grup sebelah. Saya hanya berbagi.
Muak rasanya mendengar ujaran semacam itu. Seakan-akan pendidikan yang sudah dia tempuh bertahun-tahun sirna. Tak perlu membaca tulisannya seperti apa, tak penting isinya itu penuh hoaks, yang terpenting adalah sudah menyebarkan. Urusan benar atau salah nomor sekian. Budaya membaca tergerus dengan budaya membagikan dan berkomentar.
Jika dulu kolom komentar yang ramai penuh debat kusir tak pernah padam hanya kolom pada artikel bola. Mereka rela mencari alibi ketika tim-nya kalah, sementara tim lain menyerang layaknya pasukan perang tanpa berhenti. Kali ini situasi berubah; di kolom sepakbola pun berubah menjadi perdebatan panjang yang berkaitan dengan politik & agama. Percayalah, sekarang ini kolom mana yang bersih komentar politik dan agama? Susah kita dapatkan.
Perdebatan panjang layaknya perang. Kubu A menyerang kubu B; kubu B mencari celah untuk membalas serangan kubu A. Perang itu bersenjattakan portal abal-abal; beramunisikan hal-hal yang negatif tertuju pada kubu lainnya. Balutan politik bercampur dengan agama dilancarkan. Bumbu renyah judul yang provokatif, lalu disebarkan oleh akun-akun palsu yang mencomot foto banyak orang untuk dijadikan foto profil.
Intoleransi, Hoaks, Politik, Cebong, IQ Rendah, Kaum Bumi Datar, dan masih banyak istilah lain yang dimasukkan, digiring menjadi berita viral. Lalu diambil banyak orang sebagai senjata berperang. Kalau perlu; mereka mengedit foto, dan menyertakan kutipan provokasi. Semua demi kepuasan hawa nafsu melawan kubu yang sangat dibencinya. Kubu lain pun berbalas dengan cara yang sama.
Bagi mereka, semua itu adalah kepuasaan, kesenangan, dan semakin menjadi pembenci. Membenci kubu yang tidak disukainya. Jika hidup kita lebih banyak memandangi linimasa seperti itu; tentu perjuangan kita sangat berat. Mengajak mereka untuk memilah informasi yang baik saja tidak bisa. Apalagi mengajak mereka untuk menggunakan sosial media dengan sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H