Jagad media telah dibuat kagum dengan sosok anak muda, Tsamara Amany namanya. Politisi muda, cantik, cerdas. Dia seorang mahasiswa Universitas Paramadina, usinya sekitaran 19-20 tahun. Itulah gambaran umum dirinya yang didekripsikan berbagai siaran. Tampilan idealisme anak mudanya sangat memukau publik dalam sidang MK juga hadirnya ia sebagai lawan bicara maestro senayan, Fahri Hamzah di TV One beberapa hari lalu.
Anak muda seperti ini begitu sangat banyak di negara kita. Mereka digelari generasi millenia. Muda, berani, agresif itulah karakternya. Tak pandang dengan siapa mereka berhadapan. Bagi mereka, hujan kritik bagi pejabat tidak pro rakyat itu hal yang tidak diharamkan.
Dalam bukunya Rijalul Iman berjudul Menyiapkan Momentum, ada satu bahasan tentang fenomena pergantian generasi. Bahasan itu mengisyaratkan kepada kita bahwa pemuda harus siap menjadi pemimpin (leader) dalam setiap momentum. Asal syarat kepemimpinan yakni kemurnian jiwa, loyalitas terhadap amanah, dan mampu merangkul perbedaan dan persamaan dapat terpenuhi dalam diri.
Selaras dengan itu, fenomena Tsamara menjadi salah satunya. Jika dilihat dari arah positifnya, Tsamara mengingatkan kita terhadap sosok Diplomat Muda Indonesia, Nara Rakhmatia.
Indonesia butuh anak muda seperti mereka. Apalagi tantangan Indonesia guna hadapi event 2030. Dimana produktivitas kaum muda sangat diperhitungkan.
Arah politik, pilihan anak muda
Tidak dipungkiri politik saat ini menjadi sarana paling utama. Hajat hidup masyarakat Indonesia, ditentukan olehnya. Sehingga, begitu manisnya politik menyebabkan semua punya mimpi menjadi ahli didalamnya.
Apalagi pemuda yang masih mempunyai semangat idealisme tinggi. Sangatlah gampang untuk direkrut dengan menampilkan wajah perpolitikan baru dengan gaya mereka. Memang tidak salah, kaum muda mengambil bagian ini. Namun, kesadaran tetap dalam keistiqomahan itulah yang urgen.
Lazimnya, politik Indonesia sangat ironis. Membabi buta, membuat frustasi. Istilah tidak ada kawan sejati, dan musuh abadi dalam politik harus diwaspadai. Badai politik pasti berlalu. Tapi sebelum ada badai pasti ada mangsa yang telah tertelan. Rahang pemakan kanibalis dalam politik awalnya sangat empati, setelah itu menjadi tak simpati.
Politik adalah ruang sepi, yang banyak orang masuk kemudian karena tak tahan berdesak-desakan, akhirnya memilih cari angin. Maka, keterlibatan kaum muda harus dimaknai sebagai bagian masa depan bangsa dengan berkaca pada senior yang telah lebih duluan. Bahasa saya adalah jayanya Indonesia adalah perkawinan optimisme anak muda dan pengalaman, nasehat orang tua. Itulah yang pernah terjadi di negeri ini. Bukan menjadikan kedua elemen itu saling berbenturan satu sama lain.
Pergulatan Rengasdengklok di tahun 1945 adalah contoh kecil dimana peran pemuda difungsikan untuk memanusiakan Indonesia bukan diperalat demi haus laparnya para pengendali.