“Mencintai kebebasan berarti cinta kepada orang lain, mencintai kekuasaan berarti cinta kepada diri sendiri” (William Hazlitt)
Pengaruh ideologi dalam suatu bangsa sangat mempengaruhi keadaan bangsa tersebut. Dari balik ideologi itulah lahirlah ber-isme. Baik isme intern maupun ektern. Isme boleh berbeda, namun tujuan bermuara pada merubah tata pikir. Tak cukup itu, hidden missionguna menguasai seluruh kemakmuran rakyat termasuk daftar agendanya.
Indonesia pernah mengalami kohesi, percampuran ideologi-ideologi. Sebagai bangsa yang besar dan mempunyai keanekaragaman budaya, sehingga memunculkan pengetahuan-pengetahuan baru. Efeknya melahirkan hubungan sebab-akibat yang bermuara pada ruang gesekan yang maha dahsyat. Karena, isme tak saling bertemu dalam satu meja. Selalu berperang opini maupun bambu runcing.
Kenapa demikian? Penelusuran dalam suhuf-suhuf sejarah, Indonesia mempunyai daya tarik jasmaniah bak gadis seventeen;sumber daya alam limpah ruah. Bahkan permisalan emas jika ditanam di segala tanah Indonesia, maka emas akan bertumbuh hijau bertangkai-tangkai, beranting-beranting, bercabang-cabang. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia akan menjadi pusat kemakmuran di dunia; sepenggal firdaus di muka bumi.
Jangan heran zaman pra kemerdekaan, Indonesia mengalami masa kepahitan yang diakibatkan oleh penghilangan nasib rakyat pribumi oleh penjajah. Lalu jika kita ingin kalkulasikan berapa kerugian yang dialami oleh Indonesia, tak akan cukup dengan angka statistik dalam menggambarkan derita kemelataran, kelaparan, ketertindasan.
Lalu Indonesia tiba di depan pintu kemerdekaan. Maka tetiba pekik kemerdekaan dirasakan purna. Oleh Idrus dideksripsikan rasa suka itu dalam bagian cerpen Surabaya: “Tiap waktu lagu ‘Indonesia Raya’ dimainkan, mereka berdiri dengan tegap seperti prajurit dan ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Setiap orang merasa tengkuknya seperti digili-gili orang. Segala bulu berdiri: bulu tengkuk dan bulu kaki. Dan waktu lagu itu habis, beberapa orang nasionalis tulen menangis dan katanya parau. “Itu yang kita perjuangkan sepanjang masa. Dan untuk itu kita mengorbankan harta benda dan jiwa pemuda-pemuda kita. Bukan main indahnya lagu itu. Ya, perjuangan kita tidak sia-sia!!”. Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya diluar dugaannya dan mimpinya seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir.
Namun, kenyataan sejarah itu terus dalam kegelimpangan duka akibat ulah si Nyonya Tua. Salah satu yang terlaporkan dalam babak-babak cerpennya yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma adalah: “orang yang setengah telanjang dan setengah mati yang “tergelimpang di tengah jalan”; perempuan-perempuan, juga yang Indo, menjalangkan diri untuk mencari makan; anak muda yang kurus, orang Indonesia yang pakaiannya compang-camping, anak muda yang tidak berbaju (dalam Oh… Oh… Oh!) ; anak muda yang hanya makan daun-daun kayu (dalam Kisah Sebuah Celana Pendek); sampai orang-orang telanjang bulat yang berebutan bangkai anjing di tepi Kali Ciliwung (dalam Jalan Lain ke Roma). Betapa saat itu, rakyat tak percaya lagi pada Tuhan lama, Tuhan baru telah dating dan namanya macam-macam, bom, mitralyur, mortir.
Demikian sangat horornya derita rakyat yang begitu melarat kala itu. Maka penggambaran terhadap segala bentuk imperialisme semua tak bisa diterima oleh akal sehat dan hati nurani. Maka kehidupan kemakmuran esok hari menjadi mimpi di siang bolong.
Tak cukup itu, pasca kemerdekaan. Udara kemakmuran dikira gampang. Gesekan-gesekan mulai merobek sulaman kain Merah Putih. Kelihatan rakyat tidaklah menangis dibuatnya, airmata hanya mondar-mandir di antara bola matanya. Keluh-kesahlah yang menjadi ratapan pagi dan malam.
Tahun-tahun setelah kemerdekaan sangatlah sulit mempertanggungjawabkan kemerdekaan. Memulai sebagai Negara de facto, Indonesia terlibat dalam konsesus-konsesus de jure yang berkepanjangan. Menariknya Indonesia terus kuat walau dilanda agresi sekutu dan pengkhianatan anak-anak kandung pertiwi.
Isme dan Pengkhianatan