Oleh M. Nasir Pariusamahu
Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Pendidikan Unpatti Ambon
Mengobati kepelikan hati tentang keadaan bangsa, terkhusus pada bidang pendidikan. Memberiku beberapa hari untuk bertafakkur. Lalu, malam ini saya mencoba menatap langit Indonesiaku, di atas tanah pusaku, Maluku. Dibalik gelapnya awan yang menutup langit. Gelap. Mendung. Ternyata langit, Indonesiku masih saja biru. Saya pun mencoba berselancar-pikir lagi, bahwa kekayaan alam yang dimiliki bangsaku ternyata tidak sejawab dengan jumlah sumber daya manusia yang ada. Akui kita bahwa, hal tersebut merambah ke semua pilar kehidupan bangsa. Baik secara individu, kelompok maupun secara kelembagaan. Dan tentunya, hal tersebut berimbas pada aspek fundamental pembangunan manusia jangka panjang; long life of education.
Pendidikan sebagai pilar pembangun sumber daya manusia dikatakan berhasil bilamana komponen-komponen aktif didalamnya ter-conectingsecara otomatis maupun manual. Komponen tersebut adalah tenaga pendidik, siswa dan desain pembelajaran. Komponen ini merupakan komponen terkecil namun sangat berpengaruh. Komponen tersebut ibarat inti atom yang menjadi tripusat bagi ketercapaian visi Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selaras dengan hal di atas kemudian dijabarkan dalam Indonesia education strategic plan (Renstra Kemendikbud) hingga tahun 2019, dengan mengacu pada Nawacita dan visi 2025 sebagai bagian dari rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang yang dimulai 2005, ada tujuh elemen ekosistem pendidikan yang diperhatikan, yakni sekolah yang kondusif, guru sebagai penyemangat, orangtua yang terlibat aktif, masyarakat yang sangat peduli, industri yang berperan penting, organisasi profesi yang berkontribusi besar dan pemerintah yang berperan optimal. Juga dikuatkan dengan agenda UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 2.
Titik tekan adalah guru sebagai penyemangat. Guru atau tenaga pendidik mempunyai peran penting dalam proses keberhasilan mutu anak didik. UU nomor 14/2005 tentang guru dan dosen menjadi perhatian serius untuk menjadikan guru sebagai garda terdepan dalam membangun visi kemdikbud yakni menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna) di tengah percaturan kehidupan regional maupun internasional. Sehingga peluang bonus demografi di tahun 2030, MEA yang tengah berjalan, Indonesia bisa kembalikan marwah bangsa lewat pendidikan di kawasan. Apalagi sekarang dengan adanya kurikulum yang menghendaki, guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran atau disebut dengan istilah lain Student Centered Learning.Hal tersebut juga sebagai faktor pendukung.
Namun lagi-lagi, konsesus tentang guru yakni jumlah input, output dan ketersediaan lapangan kerja tidaklah sama serta merata. Misalkan saja di Maluku, setiap tahunnya universitas di Maluku menelurkan sarjana muda keguruan mencapai puluhan ribu. Lalu semenjak tahun 2007 hingga sekarang perhatian kepada alumnus anak daerah tidaklah menjadi prioritas dalam membangun SDM yang dimaksud sesuai visi renstra tersebut. Makna lain, UU Otda Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang secara resmi sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang melahirkan desentralisasi; pelimpahan kewenangan penuh terhadap daerah untuk mengelola daerahnya.
Namun, proses desentralisasi hanyalah sebuah kedok menutup otoritarisasi sentralistik masa lalu. Inilah keindahan demokrasi Indonesia, yang melahirkan banyak aturan perundang-undangan tapi hanya sebagai ‘pelengkap penghabis anggaran’. Artinya, di tengah euforia desentralisasi jangan dilupakan peran tangan dingin sentralistik. Tetapi, jika dilihat dari hakikat desentralisasi bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Nah, kalimat “kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah” ini menjadi sebuah topik hangat guru gugus depan.
Salah satu solusinya adalah mengubah mindset otonomi daerah bahwa dalam rangka pembangunan daerah yang optimal sesuai dengan karateristik daerah masing-masing, dengan maksud agar pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan di daerah lebih merata, perlu sebuah tinjauan ulang terhadap daerah-daerah yang bergeografis kepulauan.
Hal ini yang kemudian terjadi gejolak besar pada arah dan tujuan pendidikan di Maluku. Maluku adalah provinsi archipelago; terdiri dari gugus pulau yang diatur oleh UU nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara geografis Maluku terbagi menjadi 11 kabupaten /kota. Tentunya sebagai daerah archipelago, akses transportasi pun menghambat laju arah pembangunan Maluku ke depan. Sehingga jangan disangka Maluku termasuk provinsi termiskin vs terbahagia di republik ini, selama arah pembangunan tak ditafsirkan bahwa lautan sebagai pemisah antarwilayah; pendekatan continental. Maka selama itupula provinsi 1340 pulau ini hanya mengambang diatas ketertinggalan. Padahal, Maluku hanya memiliki 7,4% daratan; lebih kecil luasnya daripada lautan. Begitu juga dengan pendidikan yang terpuruk jadi juru kunci dari 34 provinsi. Ada apa ini? Lalu? Sehingga, bisa dikatakan belum seluruh penduduk memperoleh layanan akses pendidikan yang berkualitas. Sehingga terjawab sudah, bahwa hal tersebut akan berkaitan dengan bagaimanakah peningkatan manajemen guru, pendidikan keguruan, dan reformasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) untuk daerah kawasan 3T sebagai tripusat peningkatan mutu pendidikan.
Lalu berkaitan dengan GGD, Maluku sendiri kebagian 540 guru sesuai apa yang dirilis harian Ambon Ekspres, Senin, 11 Juli 2016. Sesuai surat nomor 2421/Dt.7.2/04/2015 PPN BAPPENAS menetapkan 155 daerah 3T . Diantaranya, 8 kabupaten di Maluku masuk kawasan 3T. Adanya kebijakan SM3T atau Guru Gugus depan di Maluku memang terlihat bagaikan dua sisi mata uang. Ada yang menolak dengan alasan bahwa faktanya masih banyak lulusan LPTK asal Maluku yang masih berstatus honorer, padahal syarat untuk guru PNS asal SM3T/ GGD harus ex-IKIP dan telah ikut PPG. Dan Maluku belum mempunyai standar tersebut akibat kondisinya yang dipisah-pisah lautan. Sehingga droping guru dari luar Maluku ini dikhawatirkan akan menambah jumlah pengangguran karena tidak berpeluang jadi guru PNS. Olehnya itu, pemerintah juga harus membuka peluang yang sama bagi lulusan LPTK di Maluku menjadi guru PNS dalam pelaksanaan GGD di Maluku. Yang mendukung dengan alasan bahwa ini adalah upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan di kawasan 3T. sesuai dengan hakikat otonomisasi yang telah saya sebutkan pada paragraf kelima. Namun, apakah kebijakan GGD saja yang menjadi tolak ukur? Saya kira tidak.