Hari itu, kanvas cakrawala berdetup,
Membuka pagi dengan semburan merah saganya,
Perahu-perahu nelayan berarak-arak masuk ke gelombang,
Ombak beningnya menenggelamkan keringat,
Dari jauh, tepukan baling-baling melambaikan tangan kepada pantai yang ditinggalkan,
Wahai pasir, karang-karang, mangge-mangge bantu doakan.
Hiburlah tasi dan kail-kail dengan dengunan syair Malahayati.
Sekirannya suara tak retak,
aku akan bernyanyi diiringi palung laut serta lelamu nae-nae badang,
Menarikan ikan-ikan paranga yang telah pergi jauh.
Tapi, cuaca tak lagi menggembirakan,
Hujan telah membakar ombak,
Ujung-ujung ombak berubah menjadi mata pisau,
Tipis tajam menguburkan papan-papan perahu,
aku baru sadar, ternyata yang pulang ialah kafan putih bapakku.
O...restu Allah, segalanya.
Ini Sunday, tak ada lagi uang beli Nasi Kuning di Mama Imam.
aku onggokan lilin lepuh yang terasir dalam bayangan bunga Bakung.
Ambon, 08 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H