Nafas pagi bergerak. Ombak memukul karang. Bulan perlahan mengikuti. Bayangan pohon masih belum terlihat. Tapi daun telah jatuh seakan tak mau berlama-lama layu dengan dahannya.
Kejadian daratan.Â
01.00 dinihari, KM Pangrango melepas jangkar dari Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Kapal akan menuju Pulau Banda. Akibat gelombang yang tinggi, sebagian penumpang ke Tenggara diturunkan. Jadwal kapal reschedule. Kapal bercat kuning putih itu melaju ke bagian Selatan Ambon.
Dari anjungan, pipi kapalnya kasmaran dengan ujung-ujung gelombang. Kapal besi itu berbanting. Lumba-lumba berparade dibelakanganya, seperti para tentara lagi berbaris apel siaga. Udara dalam kabin kapal tak sesak. Ruang-ruang deck tempat tidur penumpang banyak yang kosong.
Tim kami di deck: 2/101-A. Pelayanannya pun sekelas maspakai Garuda. Sementara dari tiap-tiap rusuk gelombang, ikan malam menari didalam semburan lampu kapal. Kemudi nahkoda tetap stabil. Memutar pelan. ABK tetap standby. 14 jam tiba di Banda. Ini waktu yang tidak biasa. Biasanya 12 jam saja jarak tempuhnya.
Kejadian laut
Suara sirene kapal berbunyi, malam telah berlalu. Siang telah datang. Welcome Banda Island. Â Banda kota pulau. Menyimpan rindu dalam cinta. Ada 10 pulau yang membentuk sebuah cincin melingkari pusatnya, Neira. 10 pulau selain Neira adalah Banda Besar, Gunung Api, Nailaka, Hatta, Syahrir, Run, Ay, Manukang dan Karaka.Â
Jika dari Ambon, kita akan temukan dulu Pulau Manukang. Pulau ini tidak berpenghuni. Candaku,"masak tidak ada penghuni. "Iya, panee, seng ada."kan burung, pohon-pohon disana ada to? " iya ada." Lha itu kan juga penghuni to... Heheeh."
Kemudian sebelah kanan badan kapal, ada pulau pintu masuk Banda yaitu Pulau Run dan Pulau Ay. Keduanya merupakan pulau bersaudara. Mempunyai adat yang sama dengan sebutan Sairun. Penduduk aslinya sudah tidak ada lagi.
Mereka telah mengungsi ketika terjadi penindasan Belanda tempo dulu. Sekarang mereka menetap di Banda Ely, Pulau Key Besar. Pulau Ay sendiri menyimpan seribu kode. Ada benteng balas dendam (Revengie) dan  tempat pengasapan Pala terbesar di Banda. Diantaranya Wilfaren, Weltefreden, Matalenco, Wetsklip dan Klinson.Â
Uniknya pula, zona waktu disini mengikuti zona waktu Indonesia Barat. Tetiba disana, semua alat elektronik berganti secara otomatis waktunya le WIB. "Kok masih jam 11.30 siang su abis Dzuhur, "kataku pas tiba disana. "Disini katong pake satelit pusat ade par telepon, jadi jang bingung." Wah, ternyata Pulau Ay bukan Maluku.:)Â
Jika kedua pulau di atas adalah pintu. Maka, Pulau Karaka dan Bukit Dusun Lautaka (Neira) keduanya adalah gerbang kota Banda. Disana berdiri kokoh mercusuar penanda bagi kapal yang masuk keluar. Kapal mendekat dinding pelabuhan. Tangga kapal sepanjang 4 meter diturunkan. Buruh pengangkat barang merengsek masuk. Berdesakan dengan barang dan penumpang.
Diantara semua pulau, Pulau Pisang atau Pulau Syahrir merupakan pulau yang paling tertinggal pendidikannya. Menurut relawan yang sedang take action disitu, "Ada sekolah tapi tidak ada guru PNS. Semua honorer. Bahkan siswanya tak sebanyak jemari tangan.Â
Pulau tersebut menurutnya hanya dihuni oleh sekitar 15 KK, se-RT saja, bila ke desa administratifnya, nyeberang lagi ke Pulau Banda Besar yaitu, Desa Selamon. Â Rata-rata masyarakat berprofesi sebagai nelayan.Â
Lalu di Neira, tepatnya di Desa Merdeka ada Goa Gunung Manangis (Lohorap) Kesitu kita daki 60 tangga. Dari informasi yang didapat, suara tangisan dari gunung tersebut adalah suara tangisan Cilu Bintang, anak perempuan dari penemu Banda ( Andan Sari)Â
Keberadaan gunung tersebut ada kaitannya dengan situs sakral Parigi Pusaka di Desa Lonthoir.Â
Sementara itu, kata orang-orang, belum ke Banda jika belum sampai ke puncak Gunung Api (Lewerina) Karena, terpisah laut sepanjang 100 meter dengan Naira, kita bisa naik pok-pok dengan harga Rp. 2000,-/orang. Mendaki puncak tertinggi di Banda ini (635 Mdpl) cukup membutuhkan waktu 2-3 jam.Â
Di atas puncak kita jumpai wahana alam bebas. Inikah laut Banda. Laut yang mempunyai palung terdalam di dunia. Seakan kita melihat langsung terumbu karang dan ikan bermain dari dasar terdalamnya. Dijumpai pula tumbuhan paku yang menjadi pagar puncaknya. Gas Belerangnya sekali-kali aktif kemudian di bawa angin ke laut.Â
Dari atasnya, mata kita menghijau. Pulau Neira, Pulau Karaka, dan Pulau Banda Besar serta Pulau Gunung Api membentuk sebuah kawah seperti kawah di Gunung Kelimutu di Ende, NTT.Â
Sungguh maha indah ciptaanNya. Tampak pula kota Neira yang sedap dipandang mata. Kemudian, Â kita diajak turun bermain dengan Katapang di pinggir Pantai Malole. Masih banyak pantai yang lebih indah disetiap pulaunya. Namun, sore itu, hanya ini yang bisa didatangi karena senja terlalu cepat merunduk ke dalam langit Baratnya.Â
Inilah aroma Pala dan diksi setelah menyatu. Terbentuklah cerita. Pepasir dengan asinnya air laut, berpadu balada. Gunung dan bebatuan bercampur. Berkombinasi dalam integritas.Â
Kini usai sudah ibadah di Pulau Pala. Aroma wanginya sudah berbau asin lautan. Segala indah-indah.Â
Sekali lagi. Ahlan wa sahlan negeri Pala.
 ***Â
Belum cukup sampai disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H