Demi puisi, lusin-lusin kata rela kupecahkan. Pecahnya membawa suka-suka: aku percaya katamu
Ombak memukul-pukulan karang tak goyang. Aku berdiri membaca kata dalam puisi: wahai laut, berilah nafas pada ikan-ikan, agar bapak-bapak bawa pulang seekor, dua ekor dalam biduknya
Demi puisi, aku berbicara pada kata yang kupilih: jangan diam, kata harus jadi peluru, bunuh mereka yang tidak hargai kataku.
Kayu-kayu akasia sudah musnah ditebang tanpa sayang. Tapi lain dengan hukum di meja hijau, tebang- pilih.
Demi kata, yang kukorbankan: jangan jadi korban setan demokrasi. Jangan buat judi dalam kotak suara. Ini kata rakyatmu yang telah kau gadai tanah dan jiwanya.
Demi puisi yang sedang kau baca: bacalah dengan nama Tuhan, berilah pengajaran bijak pada diri. Agar setan tercabut dari jantung kemunafikan
Kataku telah dijual. Rupa-rupa. Walau hanya sebait-bait. Tapi lariknya menarik-tarik kebencian menjadi kasih sayang. Rindu.
Dan demi puisi, kataku bukan berjudi-mengunjing manusia-manusia. Kataku adalah perombak tembok kelaliman. Yang lalim akan terbakar seperti kertas dibakar api, kataku.
Ini sumpah teriakanku: kata-sumpahku tidak kacau, tidak menyimpang. Ini dunia sudah mundur. Kataku, jangan menyimpang, kembali ke jalan lurus. Kataku tidak tidur. Kataku, bangun jemput kejora di ufuk timur.
Â
Ambon, 02/12/2017