Atau ada alasan lain? Tapi sungguh tidak masuk akal. Bilamana intoleransi menjadi benalu dalam negeri sendiri. Dari sini, bagi siapapun yang sedang mabuk kekuasaan dan bermimpi akan berkuasa selamanya, harap dicamkan petuah bapak bangsa dan Presiden RI pertama Ir Soekarno, "Kekuasaan seorang presiden ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa".
Disayangkan juga, sebagai salah satu penegak demokrasi, Aung San Suu Kyi  harus bertindak sebagaimana dilambangkan pada sosok 'Catulokapla'. Dewa yang  dipercayai sebagai pelindung alam manusia dari segala keangkaramurkaan. Jika kita menyeberangi ide tentang hal yang sama, kita mengingat sosok dari alam benua sama, India.
Vokalnya tentang ajaran Ahimsa menjadi kekuatan bagi harmonisasi. Bahwa  hidup sekedar "tidak menyakiti", tetapi menurut Ghandi pengertian seperti itu belum cukup, menurutnya Ahimsa berarti menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan meperalat serta mengorbankan orang lain.
Dari pemaknaan di atas dapat terlihat bahwa makna Ahimsa lebih menekankan pada makna penolakan atau penghindaran secara total terhadap segenap keinginan, kehendak atau tindakan yang mengarah pada bentuk penyerangan atau melukai. Persoalannya adalah apakah sudah matikah rasa dan cinta "Myanmar?"
Maka, detik ini kami ingatkan kepada bangsa "tanpa agama" di Myanmar, penindasan ini bukanlah akhir cerita "terusir". Tak lihatlah kau akan kebangkitan cinta jiwa "orang terbuang" dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk karya Buya Hamka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H