Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Baru Tanpa Om Tolelat (Refleksi di Ujung tahun, Bagian 2)

31 Desember 2016   22:06 Diperbarui: 31 Desember 2016   23:14 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tempo lalu, jagad media sosial diviralkan dengan Om Tolelat Om. Fakta yang terjadi adalah hujan sapaan-sapaan tersebut menjadi daya magnetis dan objek serangan psikis. Menariknya, aktor-aktor politik menjadikannya sebagai guyonan dalam berpolitik. Semulanya politik adalah sebuah game dangerous menjadi sebuah permainan anak kecil; menyenangkan lagi menghibur.

Secara psikologis, pengaruh celotehannya sangat berdampak pada pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Lewati sikap pro kontra, Om Tolelat Om telah menjadi gaya slang no age limit, trend komunikasi yang mencairkan problematika bangsa.

Tahukah kita bahwa gejolak bangsa Indonesia di tahun 2016 sangatlah memudarkan darah merah putih.  Pikiran dan tenaga generasi yang seharusnya terkembangkan dengan baik, malah dihantui oleh patah dan rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Begitu ramainya fenomena bocah yang berasal dari Jawa Timur ini menunjukan bahwa  semakin canggihnya suatu teknologi, maka manusia akan cenderung melahirkan kebiasaan hidup dengan teknologi yang dipakai.

Pantauan terakhir Rabu (21/12/2016) siang, sudah sebanyak 637.000-an kicauan menggunakan kata kunci "om telolet om"  lewat twitter. Mesin mikroblog berlogo blue bird  itu mengingatkan pada kita bahwa kosakata terus akan bertambah searah dengan kejadian-kejadian yang terjadi. Entah pelaku atau penyebarnya adalah anak-anak maupun orang tua.

Lalu dalam pikirku, apakah Om Tolelat Om juga akan bernasib sama seperti tahun sebelumnya, 2016? Tentunya sangat beragam jawabannya.

Namun ada beberapa jalan pikiran untuk menjawab judul di atas. Pertama, jika memang benar fenomena Om Telolet tiada di tahun 2017, apa yang menjadi daya tarik terbaru dalam menenggelamkan  airmata rakyat, mengakrabkan pesan berantai lintas usia dan aktivitas pekerjaan. Kedua, setidaknya pesan-pesan bahasa yang bermuara pada kestabilan emosi masyarakat, haruslah seiring dengan kemauan bersama untuk saling meniadakan, merangkul dalam bingkai kesatuan. Sebab, terjadinya kontak bahasa yang baik dalam sebuah entitas komunitas akan menghasilkan kode-kode baru yang diharapkan bukan saja mempengaruhi gaya berfikir melainkan juga bertindak. Ketiga, jika ada Om Baru Om lagi, maka sudah semestinya tak lagi perlu nyala kembang api bahkan goyang tobelo di tengah common enemy  bangsa belum bisa dilawan secara terstruktur. Maka, permulaan mempurnamakan malam di tanah pertiwi diikuti dengan evaluasi, doa serta resolusi. Agar Tuhan bisa baik dengan alam dan manusianya sepanjang hayat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun