Tulisan ini merupakan pesan dari para korban dampak lingkungan terhadap caleg di setiap tingkatan legislatif yang sedang "bertarung" di pemilu 2024.
Sebenarnya apa harapan korban ekologi terhadap caleg? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baiknya mari kita pahami dulu mereka berada dalam kondisi seperti apa, tentunya kondisi ini berlaku bagi seluruh daerah di Indonesia.
1. Persoalan persampahan. Banyak masyarakat yang menjadi dampak dari pengelolaan sampah yang tidak baik. Penggunaan barang berbahan plastik sepertinya tidak dapat dihindarkan hidup di zaman modern saat ini. Penggunaan plastik sekali pakai menjadi persoalan utama, yang mana butuh waktu puluhan tahun untuk dapat terurai. Pencemaran sampah plastik di pemukiman penduduk dan perkotaan menjadi persoalan serius bagi lingkungan. Selokan akan tersumbat, pemandangan secara estetika tidak indah, lingkungan terlihat jorok dan kotor, dan menjadi sumber jentik nyamuk dan penyakitnya lainnya. Butuh edukasi, kebijakan, dan terpenuhinya insfratruktur pengelolaan sampah sebagai solusi dari masalah ini.
2. Pencemaran limbah pabrik. Dampak negatif dari sebuah pabrik atau industri adalah pencemaran limbah, dalam bentuk pencemaran air, debu, udara, dan bising. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat pun beragam, mulai dari terserang penyakit ISPA, sesak, gatal, hilang sumber perekonomian, putus sekolah, dan kemiskinan. Butuh ketegasan dari pemerintah dalam mengawal instrumen pengelolaan lingkungan hidup pabrik tersebut sehingga dampak negatif dapat dikelola dengan baik. Butuh ketegasan dari pemerintah yang mampu memberikan sanksi terhadap pemilik usaha yang melanggar hukum. Butuh dukungan politik dari parlemen untuk mampu ditindak pemilik modal sehingga masyarakat dilingkar pabrik atau industri dapat terjamin hak-haknya.
3. Konflik Agraria. Hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki riwayat atau konflik agraria antara masyarakat dengan pemilik konsesi, baik izin perkebunan, pertambangan, maupun izin lain dalam pengelolaan sumber daya alam. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat konflik tersebut diantaranya; hilang wilayah kelola, hilang sumber perekonomian, terganggu sumber penghidupan, intimidasi warga, pelanggaran HAM, kerugian di pihak perusahaan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum. Bagi masyarakat korban, mereka butuh kebijakan dan sikap tegas dari pemerintah yang memihak atas kepentingan masyarakat banyak. Yang mana umumnya, pemerintah lebih memihak kepada pemilik modal. Butuh wakil rakyat yang berani bersuara lantang di parlemen untuk mendorong perubahan kebijakan, menawarkan gagasan penyelesaian, dan mampu menjembatani kepentingan masing-masing pihak.
4. Konflik Satwa. Konflik Satwa dengan manusia tak kunjung selesai. Saling rebut ruang terus terjadi, dan korban pun berjatuhan dari masing-masing pihak. Dampak yang terjadi, punah spesies satwa kunci dan dilindungi, rusak komoditas pertanian dan perkebunan masyarakat, korban jiwa, hilang rasa nyaman, hilang kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum, dan konflik sosial ditengah masyarakat. Butuh kebijakan dan dukungan politik dari parlemen untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya menetapkan koridor satwa, menetapkan kawasan untuk habitat satwa, ada program yang mampu mengembalikan satwa ke kawasan konservasi, ada kebijakan dan program pemberdayaan ekonomi alternatif bagi masyarakat yang berada dalam habitat satwa.
5. Eksploitasi SDA secara berlebihan. Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara rakus dan berlebihan berdampak serius terhadap lingkungan hidup. Masyarakat sebagai penerima dampak langsung dari kerakusan tersebut. Krisis air, rusak budaya dengan masuk budaya asing, hilang wilayah kelola, rusak sungai, pencemaran, dan terjadi praktik perburuhan karena SDM masyarakat yang tidak cukup. Masyarakat korban berharap punya wakil rakyat yang mampu mempengaruhi kebijakan politik investasi, sehingga hak - hak masyarakat dapat terlindungi, gak masyarakat adat di hargai, dan keberadaan investasi benar - benar mensejahterakan masyarakat setempat.
Tentunya banyak isu dan persoalan lain yang terjadi dilapangan dalam konteks ekologi, termasuk isu pesisir, bencana, penegakan hukum, tata ruang, perubahan iklim, dan pendidikan lingkungan terhadap generasi muda.
Bagi masyarakat korban ekologi, mereka butuh anggota legislatif di setiap tingkatan sebagai wakilnya di parlemen yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Bukan sebaliknya justru menjadi persoalan baru bagi mereka.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H