Mohon tunggu...
M Nasir
M Nasir Mohon Tunggu... -

Wartawan senior ini kini Wakil Sekretaris Redaksi Kompas, merangkap Ketua Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Di Redaksi Kompas, ia pernah bertugas di Desk Metropolitan dan Internasional. Dia juga pernah menjadi Kepala Biro Kompas Jatim dan Jabar, serta Wakil Kepala Desk Metropolitan dan Nusantara. Pria kelahiran Lamongan ini meniti karirnya sejak 1981 ketika kuliah di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, Jurusan Bahasa Inggris IKIP Muhammadiyah Jakarta. Guna mempertajam karyanya, ia belajar filsafat di Universitas Indonesia dan mendapat gelar Magister Humaniora bidang filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dialek Amerika Diminati di Jakarta

9 November 2010   13:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:44 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di era  global yang ditandai dengan bahasa yang campur aduk seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini, masih perlu kah orang-orang yang bukan  warga negara Amerika Serikat (AS) berlatih keras untuk bisa menggunakan bahasa Inggris dengan dialek Amerika? Apakah kita takut di-cuek-in dalam pergaulan dan tidak diajak bisnis oleh orang Amerika bila aksen atau dialek  kita berbeda?
Jawabannya, tergantung kepentingan kita ke arah mana. Kalau kita sering ke Amerika, apalagi yang berbisnis di negeri ini, pasti lebih bermanfaat kita menggunakan logat Amerika. Alasannya, kita akan bisa berkomunikasi dengan baik, lancar dan mudah diterima dalam bergaul maupun urusan bisnis.
Akan tetapi akan menjadi lain kalau kita lebih sering berhubungan atau berbisnis dengan  Australia atau Inggris, pasti juga akan lebih baik jika kita bisa menyesuaikan dengan dialek negara-negara yang menjadi tujuan kita ”berbisnis”.
Seperti di India, walaupun orang India fasih berbahasa Inggris, banyak di antara mereka yang ikut kursus aksen Amerika. Tujuannya, mereka ingin gaul dengan bangsa Amerika, terutama untuk berbisnis. Dengan menggunakan aksen yang sama, komunikasi akan mudah dipahami, dan pada gilirannya deal-deal dan transaksi bisnis bisa lancar.
Sebaliknya jika komunikasi sulit dipahami, orang akan menghindari melakukan negosiasi bisnis, karena khawatir terjadi salah paham dan merugi. Persoalannya bisnis selalu berkait dengan uang dan berbagai perjanjian kerja sama yang harus dijalankan.

Di Jakarta dan sekitarnya kini tumbuh banyak kursus bahasa Inggris yang menawarkan berbagai aksen atau logat  dan dialek dari berbagai kawasan di seluruh dunia. Bahkan, tidak ragu-ragu lembaga kursus mencantumkan dialek tertentu pada spanduk atau papan nama.
Dialek yang banyak ditawarkan adalah Amerika. Lainnya, tidak menetapkan dialek tertentu, tetapi semua dialek diajarkan dengan menghadirkan guru-guru penutur asli yang berasal dari seluruh  dunia, seperti yang dilakukan kursus bahasa Inggris EF English First di Jakarta. Lembaga EF yang tersebar di seluruh dunia memberi kesempatan para peserta kursus untuk menguasai bahasa Inggris dengan dialek yang beragam, karena mereka tidak hanya pergi ke Amerika, tetapi juga ke Australia, dan negara-negara di Eropa.
Meskipun demikian, dialek  Amerika di Indonesia dianggap banyak kalangan lebih pas   untuk pergaulan,  urusan bisnis, maupun mengikuti perkembangan berbagai hal.  Maka tidaklah heran jika penyelenggara kursus bahasa Inggris Amerika tidak pernah sepi  peserta kursus.  ”Bahasa Inggris dialek  Amerika itu penting, dan banyak manfaatnya dari pada Bahasa Inggris British (Inggris dengan aksen Inggris, (red),” kata Vera Djuliarso, Manajer Hubungan Masyarakat Sekretariat Umum Yayasan LIA, salah satu lembaga pendidikan yang mengajarkan Bahasa Inggris dengan dialek  Amerika.
Dalam percakapan dengan Kompas, beberapa waktu silam, Vera menjelaskan betapa penting dan dominannya bahasa Inggris Amerika di Indonesia. Dalam dunia bisnis yang sekarang sudah meng-global, bahasa Inggris Amerika, kata Vera, lebih banyak diperlukan. Untuk melakukan lobi dan negosiasi dengan pembeli dari Amerika, dialek Amerika  menjadi alat sangat penting.

”Bagaimana mungkin kita  menghindar dari budaya Amerika. Kita lihat film-film asing dan lagu-lagu yang masuk ke Indonesia, hampir semuanya menggunakan Inggris Amerika, bukan Inggris Inggris,” tutur Vera yang memaklumi kecenderungan warga kota Jakarta dan sekitarnya, bahkan di kota-kota besar di Indonesia memilih Inggris dengan dialek  Amerika daripada yang lain, seperti British, Singapura, atau Australia.
Hal senada juga dikatakan S Selwa Rajen, Direktur Utama Lembaga Bahasa Inggris Amerika, Harcourt International Indonesia yang ditemui Kompas, Senin, 13 November 2007 di Jakarta.  ”Semua aksen  baik. Tetapi  anak-anak Jakarta dan sekitarnya, sekarang  cenderung memilih Bahasa Inggris dengan dialek  Amerika. Ini karena kebutuhan,” kata Selwa yang melihat kecenderungan itu sebagai peluang untuk mengembangkan usahanya, yakni kursus bahasa Inggris Amerika.
Sebagai upaya  mencetak orang-orang berkemampuan berbahasa Inggris dengan dialek Amerika, Harcourt banyak menggunakan kaset-kaset dan film dari  Amerika. Lembaga ini  belum menyediakan penutur asli (native speaker) dari Amerika, karena masih menyesuaikan antara keuangan peserta dan besarnya biaya mendatangkan guru native speaker.
Tanpa mendapat dukungan dana dan tenaga pengajar dari Amerika, Selwa tetap gencar mengembangkan kursus bahasa Inggris Amerika. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung mengabadikan nama Amerika dalam lembaganya, yakni  Lembaga Bahasa Inggris Amerika.
Harcourt kini memiliki puluhan  lokasi kursus Bahasa Inggris yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor (Jabodetabek). ”Tahun 2007, kami buka lagi di pedesaan, seperti di Balaraja, dan Cikupa (Kabupaten Tangerang),” kata Selwa kini mendidik ribuan anak yang belajar bahasa Inggris aksen Amerika.

Tidak kalah ramainya, Yayasan LIA, kata Vera kini memiliki 16 cabang di Jabodetabek, dengan jumlah peserta kursus puluhan ribu orang.  Dalam mengembangkan bahasa Inggris Amerika, bagi Yayasan LIA adalah suatu kewajaran, karena lembaga ini mempunyai historis yang tidak dapat dipisahkan dengan Amerika. Yayasan LIA dulu dikenal dengan sebutan Lembaga Indonesia Amerika. Lembaga ini berdiri tahun 1959, jauh lebih lama daripada lahirnya Harcourt. (M Nasir)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun