Mohon tunggu...
Nasir Buloh
Nasir Buloh Mohon Tunggu... -

Untuk melihat data diri lengkap kunjungi http://nasirbuloh.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Milad Ke 38: Refleksi GAM Tanpa Bulan Bintang

4 Desember 2014   19:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:03 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

sumber: http://nasirbuloh.com/

Bisa jadi, bulan desember merupakan bulan yang banyak memiliki tanggal “keramat” diantara bulan-bulan lain. Hari AIDS Sedunia, Anti Korupsi Dunia, HAM Dunia, Natal, dan juga Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di 4 desember.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir pada tanggal 4 desember 1976 yang dipelopori oleh (Alm) Hasan Tiro. Saat itu, Misi perjuangan GAM hanya satu, Aceh harus merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang kemudian misi tersebut “tergantikan” dengan semangat damai dibawah NKRI paska penandatanganan MoU di Helsinki antara GAM dengan Pemerintah Indonesia 15 Agustus 2005.

Dengan adanya kesepakatan itu perjuangan GAM dari perang gerilya berganti ke “perang” politik. Ditandai dengan sejumlah petinggi GAM menduduki posisi politik dalam sistem Pemerintahan Aceh berpayung hukum pada Undang-undang nomor 11 tahun 2006.

Sembilan tahun lebih Aceh berada dalam kesepakatan damai, perang politik yang dijalankan hanya baru pada tahap merebut posisi aman sejumlah petinggi GAM di sistem Pemerintahan Aceh. Sedangkan masyarakat atau mantan kombantan belum sepenuhnya merasakan “nikmat” dari damai itu.

Sebelum kesepakatan damai terjadi, 4 desember menjadi hari istimewa tidak hanya bagi GAM akan tetapi seluruh rakyat Aceh, terbakar semangat saat mendengar pidato GAM dalam upacara milad. Selain untuk mengenang gerakan perjuangan, hari milad juga dijadikan sebagai moment penyemangat untuk menguatkan akar perjuangan ditengah masyarakat.

Barisan komando, pasukan inong balee, dan berkibarnya bintang bulan seakan-akan cita-cita merdeka telah dicapai. Dan sejumlah keluarga korban yang anaknya diculik, suaminya dibunuh, rumahnya dibakar, terasa iklas hilang orang yang dicintai demi sebuah perjuangan. Syair Prang Sabi dan gerak langkah pasukan semakin kuat rasa benci terhadap Jakarta.

Saat itu, hari milad diperingati dengan upacara yang cukup meriah meskipun dibawah ancaman “pai”. Sebagian sekolah diliburkan, sepanjang jalan Blang Seureudang Buloh Beureughang bendera berkibar, pawai bendera bintang bulan, masyarakatpun berbondong-bondong menghadiri upacara milad. Dengan seragam loreng dan pasukan pengawal seorang panglima berdiri gagah membacakan teks perjuangan.

Pidato yang berisi sejumlah cita-cita bangsa menjadi harapan bagi rakyat Aceh untuk segera merdeka. Untuk Aceh yang lebih baik, rakyat sejahtera, jalan dari emas, dan mengembalikan kejayaan Aceh seperti masa Sultan Iskandar Muda.

Apa yang terjadi setelah damai disepakati. Pawai pasukan loreng dengan AK 47 tak terlihat lagi, bintang bulan tak berkibar, pidato perjuangan tergantikan pidato politik, sumpah haram hormat merah putih dilanggar, dan pancasila kembali dijadikan sebuah ideologi. Janji perjuangan telah hilang dan tergantikan dengan sejumlah janji politik, naik haji dengan kapal pesiar, diberikan uang 1 juta/kk, yang semua itu belum mampu diwujudkan.

Ditengah ingkarnya janji-janji politik, semangat damaipun belum terwujud. Proses reintegrasi belum selesai, pengadilan HAM belum terbentuk, dan sejumlah simbol sebagai pengganti simbol GAM belum tersepakati. Yang kesemua itu telah menjadi bagian dari sejumlah amanat dalam MoU dan Undang-undang nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Paska damai, hari milad GAM dilaksanakan dengan semangat serimonial. Tidak lagi terdengar kobaran pidato kemerdekaan, kata Sibak Rukok Teuk-pun telah terjilat kembali ditengah nikmatnya kursi kekuasaan. Hari milad dikemas dengan kegiatan syukuran, jiarah ke makam pahlawan, kanduri rakyat, dan mungkin kedepan upacara milad berlangsung di aula hotel mewah yang hanya dihadiri oleh para pejabat.

Hari milad GAM tidak seindah dulu lagi dan bahkan mungkin generasi kedepan lupa 4 desember sebagai hari jadi GAM. Dengan sejumlah “dosa” yang dilakukan, anak yatim korban konflik kurang terperhatikan, mantan kombantan jauh dari kesejahteraan, kekecewaan masyarakat semakin besar, wajar bila masyarakat lupa 4 desember sebagai hari perjuangan.

Keadilan dan kesejahteraan salah satu alasan gerakan GAM menuntut kemerdekaan. Dan sekarang pucuk kepemimpinan Aceh dan sejumlah kabupaten/kota yang ada dipegang oleh panglima dan mantan penjuang GAM. Namun yang terjadi rakyat Aceh belum sejahtera dan munculnya gerakan sakit hati dari internal GAM. Selain itu, anggaran yang tersedia untuk mensejahterakan rakyat justru “disulap” untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Seseorang yang dulunya disegani dan menjadi penyemangat dengan sejumlah pidatonya, sekarang harus mendekam di penjara karena terjerat kasus korupsi.

Bendera bintang bulan paska damai haram dikibarkan. Simbol Aceh yang telah dijanjikan dalam MoU dan UUPA dilarang menggunakan simbol GAM. Meskipun terjadi perdebatan panjang, Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan ZIKIR (Zaini – Muzakir) terkesan kalah dalam perang politik dengan Jakarta. Bendera bintang bulan sebagai simbol perjuangan GAM ingin dijadikan sebagai bendera Aceh ditolak oleh pemerintah pusat. Meskipun bendera itu dianggap sebagai harga mati yang harus diperjuangkan, rela diganti dengan janji rupiah dari Jakarta.

Milad GAM ke 38 hari ini sudah pasti tidak berkibarnya bendera bintang bulan, meskipun dalam hati kecil ragu akan hal itu. Sebagaimana tahun sebelumnya meskipun diharamkan berkibar, bintang bulan tetap berkibar di beberapa tempat begitu juga dengan milad hari ini.

Karena sebagian masyarakat, baik dia terlibat langsung dalam gerakan GAM maupun tidak, bendera bintang bulan tetap dianggap sebagai bendera perjuangan yang harus tetap dipertahankan. Juga karena kesepakatan damai antara GAM dan RI oleh sebagian kelompok GAM tidak mengakuinya sampai saat ini. Benih perjuangan baru mulai tumbuh, sama halnya didasari oleh ketidakadilan, yang membedakan hanya kalau dulu arah perjuangan melawan pemerintah pusat sedangkan sekarang gerakan dibangun untuk melawan Pemerintah Aceh.

Kemasan milad paska damai belum mampu meredam sejumlah persoalan internal GAM, banyak mantan kombatan yang kecewa dengan Pemerintah Aceh. Saling klem “pengkhianat” semakin memperburuk suasana dan berdampak pada munculnya kelompok baru baik sebagai kelompok politik maupun kelompok kecil yang memiliki potensi besar lahirnya “perang” saudara sebagaimana pernah terjadi dimasa lalu dalam perang Aceh.

Indikasi terjadi perang saudara sudah jelas terlihat, tidak hanya debat politik dalam kekuasaan, bahkan nyawapunpun mulai hilang. Karena sebuah kepentingan dan beda pandang dalam politik kawan yang dulunya seperjuangan rela “disekolahkan”. Lahirnya sejumlah partai lokal terus mempertajam warna perbedaan. Dan sayangnya moment milad hari ini tidak mampu menyatukan warna-warna itu menjadi sebuah “lukisan” yang dihiasi bingkai emas perdamaian.

Jakarta tersenyum, bukan karena “tersobeknya” bintang bulan melainkan telah berhasil menghancurkan kekuatan GAM. Hancurnya kekuatan GAM tidak terlepas dari politik pemerintah pusat, selain persoalan internal, prilaku GAM dilapangan paska damai juga memiliki peran dalam lunturnya kepercayaan masyarakat. Bila sadar, kekuatan GAM bukanlah pada jumlah senjata yang dimilikinya, melainkan kekuatan paling besar mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Apa yang terjadi sejumlah kemewahan yang dimiliki, lupa akan sebungkus nasi yang pernah diberikan oleh buruh tani. Itu dulu, beda dengan sekarang sebagian masyarakat telah benci terhadap perjuangan GAM. Terbukti dalam pemilu 2014 yang lalu partai Aceh yang dimotori oleh GAM disemua daerah pemilih jumlah kursi yang didapatkan berkurang, dan justru terjadi peningkatan pada partai nasional.

Sampai kapan kondisi ini terus dipertahankan. Tidak mampukah moment milad hari ini menjadi langkah awal memperbaiki kondisi tersebut. Hilangkan egoisme, rangkul semua “pengkhianat”, mari berbagi peran dalam membangun Aceh untuk mengembalikan kejayaan seperti masa Iskandar Muda. Tidak mesti merdeka, cita-cita perjuangan tentu mampu diwujudkan. Dan semua syuhada yang “syahid” di medan perang akan tersenyum melihat janji perjuangan telah tercapai. Janda korban konflik, anak yatim, dan sejumlah orang tua yang anaknya hilang, mati, diperkosa, dianiaya, juga turut gembira melihatnya. Dengan demikian, tidak harus bintang bulan berkibar, milad serimonialpun tidak dipersoalkan. (nasir buloh).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun