[caption id="attachment_116210" align="alignnone" width="680" caption="Ternak Milik Sendiri"][/caption]
Bagi para peternak kecil dan berkala rumahan, larangan ekspor sapi hidup oleh pemerintah dan asosiasi peternak sapi Australia merupakan tindakan "baik budi" yang teramat dihargai. Kebaikan hati mereka bukan karena mereka begitu peduli pada kesejahteraan hewan, tetapi karena kebijakan tersebut memberi setitik harapan bagi peternak kecil dan rumahan untuk kembali bangkit dari keputusasaan.
Kalau perlu, kasus-kasus penyiksaan sapi seperti yang tersebar di media massa akhir-akhir ini semoga terus terjadi di negeri ini, agar kebijakan negeri tetangga tersebut diberlakukan selamanya. Tentu itu bukan tindakan yang bermoral, tapi berguna bagi peternak kecil.
Sejak setahun silam sudah banyak keluhan peternak kecil yang berharap pada pemerintah agar menghentikan impor naif tersebut, tetapi rupanya tidak ada yang mampu mendengar "jeritan" rakyat kecil. Negeri tetangga rupanya lebih peka dan "peduli". Mereka bahkan dapat merasakan "penderitaan" sapi-sapi yang sebenarnya telah mereka jual ke seberang lautan.
Lebih kurang setahun terakhir, para peternak kecil dan skala rumahan benar-benar merasakan pahitnya penjajahan ekonomi oleh negeri tetangga tersebut. Pemerintah yang seharusnya menjadi satu-satunya pelindung sama sekali tidak memberikan pembelaan, bahkan membiarkan hegemoni peternakan negeri tetangga merampas hak ekonomi rakyat kecil.
Setahun terakhir merupakan masa paling suram bagi peternak sapi skala kecil dan rumahan. Dibukanya pintu impor yang sedemikian luas oleh pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kecil. Bagaimana tidak, terhitung sejak pertengahan tahun 2010 harga ternak ruminasia tersebut di tingkat petani merosot drastis.
Banyak peternak kecil merugi gara-gara ternak impor tersebut, bahkan banyak pula yang akhirnya menyerah dan enggan beternak kembali. Peternak kecil, apalagi yang bekerja paro bathi (bagi hasil) ternak milik orang lain mulai enggan memelihara ternak karena nilai ekonominya bukan saja rendah, melainkan menjadi pilihan bodoh. Berternak sapi menjadi pilihan kerja yang tidak masuk akal.
Sekedar contoh kasus, di kabupaten Nganjuk Jawa Timur, merosotnya harga ternak hidup di tingkat petani sudah jauh di bawah level rasional. Harga sapi bakalan yang semula di kisaran 8-9 juta rupiah pada awal tahun 2010, jatuh menjadi hanya kisaran 3-4 juta rupiah saja pada catur wulan pertama tahun ini. Harga sapi anakan yang semula berada di kisaran 3-4 juta, merosot menjadi sekitar 1-1,8 juta saja, atau setara dengan harga bakalan kambing etawa.
Peternak kecil yang membeli ternak tahun lalu dan berharap memanen tahun ini sudah pasti gigit jari, sebab modal pembelian sapi sudah pasti hanya kembali separoh saja. Biaya pemeliharaan (produksi) tidak mungkin diharapkan karena modal saja sudah tidak kembali utuh. Jadi, peternak harus kehilangan sebagian modalnya, ditambah biaya produksi yang sudah pasti lenyap di makan ternak. Peternak yang memelihara ternak orang lain harus rela tidak mendapatkan imbalan apapun, sebab pemilik ternak saja sudah merugi.
Resiko beternak semakin berat bagi masyarakat bawah. Bila sebelumnya resiko beternak sapi hanya terletak pada kemungkinan terjadinya sakit dan kematian ternak, sekarang mereka dihadapkan pada ketidakpastian pasar yang jauh dari kemampuan mereka untuk mengatasi. Mereka bukan lawan yang seimbang bagi peternak Australia yang rata-rata merupakan tuan tanah dan pemilik modal besar.
Impor sapi secara besar-besaran dari Australia selama satu setengah tahun terakhir merupakan alasan para pedagang ternak menurunkan harga sapi dan mengakibatkan kemerosotan harga ternak di daerah. Anehnya, harga daging ternak tersebut di pasaran tetap tinggi, yaitu di atas 56 ribu/kilogram.  Harga tersebut relatif tidak berbeda dibanding saat harga ternak hidup berada pada level normal awal 2010.