[caption id="attachment_227134" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: Koleksi Pribadi"][/caption] Beberapa waktu terakhir beberapa daerah di Jawa Timur bersiap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk memilih calon bupati/wali kota. Di antara yang sudah dilaksanakan adalah Batu dan Bojonegoro. Pertengahan Desember 2012 ini kabupaten Nganjuk segera menyusul. Beberapa bulan ke depan propinsi Jatim sedang bersiap menyelenggarakan pemilihan gubernur. Berbeda dari pilkada sebelumnya, beberapa pilkada yang sudah dilaksanakan tahun ini berlangsung lebih tenang, sekalipun menyisakan gugatan hasil pilkada Batu di MK.  Tidak ada kegaduhan berlebihan di masyarakat, bahkan sekedar aksi dukung mendukung yang melibatkan konvoi massa sebagaimana pilkada-pilkada sebelumnya. Pada kasus kampanye pemilihan calon bupati Nganjuk yang tinggal beberapa hari, lagi nyaris tidak tampak adanya mobilisasi massa massa yang diisi orasi politik, dan biasanya disertai pertunjukan musik dangdut atau sejenisnya. Situasi daerah ini sepenuhnya tenang dan damai. Hanya sesekali ada arak-arakan kendaraan bermotor yang jumlahnya sekitar belasan. Ada banyak kemungkinan, mengapa pilkada kali ini lebih damai. Bisa jadi hal ini dikarenakan masyarakat sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi. Mereka semakin rasional dan proporsional dalam memberikan dukungan terhadap calon pimpinan daerah. Pada sebagian masyarakat memang berkembang sikap apatis dan apriori terhadap sepak-terjang para politisi yang lebih memikirkan dirinya sendiri dibanding rakyatnya. Sepertinya para calon pemimpin daerah memahami kondisi ini. Itu sebabnya mereka memandang penggalangan massa melalui rapat umum seperti lazimnya kampanye dalam artian pemaparan ide dan penggalangan dukungan sebagai cara yang tidak efektif dan mahal. Dalam banyak kasus kampanye yang pernah berlangsung, jumlah massa yang menghadiri kampanye semacam itu tidak merepresentasikan jumlah pemilih. Model kampanye paling mencolok hanya berupa banner-banner foto calon bupati dan calon wakilnya yang dipasang di berbagai tempat, iklan melalui radio lokal, serta pembagian kaos dan tentu saja uang. Penggalangan dukungan lebih banyak dilakukan dengan "gerilya", pendekatan langsung pada kelompok-kelompok masyarakat melalui tim sukses, yang kadang juga menghadirkan sang calon kepala daerah sendiri. Calon incumben semakin rajin menghadiri kegiatan masyarakat atau numpang hadir dalam kegiatan-kegiatan kedinasan. Calon-calon lain juga tak henti bersafari dan menghadiri berbagai pertemuan, tetapi dengan pola yang hampir sama. Mereka  hampir-hampir datang tanpa orasi politik sebagaimana lazimnya kampanye. Hanya permintaan doa, restu dan dukungan agar tanggal 12 Desember memilih yang bersangkutan. Itu sebabnya Pilkada kali ini boleh dibilang lebih mirip pilkades (Pemilihan Kepala Desa) dibanding calon pemimpin daerah. Layaknya Pilkades, para calon kepala daerah ini hanya menekankan pendekatan personal, kedekatan emosional dibanding pendekatan yang visioner. Sang calon incumben memanfaatkan iklan-iklan layanan masyarakat untuk lebih mendekatkan diri pada calon pemilih. Calon-calon lain lebih menekankan kedekatan emosional, yaitu menunjukkan kedekatannya dan posisinya sebagai anggota suatu komunitas tertentu, dengan jargon wonge dewe (orang kita sendiri). Sebagian lagi memanfaatkan pengaruh calon wakilnya yang sebagian berasal dari tokoh masyarakat yang cukup dikenal. Tidak sebagaimana layaknya pilkada Jakarta tempo hari, apalagi antara Obama dan Romney, para calon bupati tidak berusaha menunjukkan perbedaan visi dan misi kepemimpinan satu atas yang lain. Tidak ada perdebatan yang memungkinkan calon pemilih mempertimbangkan calon satu atas yang lain. Tidak ada visi dan misi yang disosialisasikan, juga tidak ada janji-janji politik yang secara jelas ditawarkan pada calon pemilih. Andai saja calon kepala daerah memiliki visi perubahan, sebenarnya selalu ada persoalan yang layak diangkat di daerah, terutama menyangkut transparansi, maupun kebijakan-kebijakan publik lainnya. Entah mengapa, hampir-hampir tak seorangpun calon kepala daerah yang mengangkatnya sebagai isu politik, baik dalam pidato politik maupun media massa.  Iklan calon kepala daerah di radio juga tak lebih meyakinkan dibanding iklan obat herbal. Tercatat hanya satu calon yang menawarkan perubahan berkaitan dengan pemerintahan yang bersih bebas KKN, yang itupun tidak secara terbuka dinyatakan di hadapan publik. Sangat boleh jadi sang calon berusaha menjaga etika politik, tetapi sepertinya itu lebih dikarenakan masih adanya kekhawatiran akan diserang balik oleh rival politiknya. Apalagi pembuktian penyimpangan dan korupsi bukan hal mudah dilakukan di negeri ini. Manuver-manuver politik menjelang pemilihan gubernurpun tampaknya tidak jauh berbeda. Mereka yang sedianya mencalonkan diri tampak lebih berupaya memanfaatkan kedekatan emosionalnya dengan para calon pemilih dibanding menawarkan visi kepemimpinan dan visi perubahan yang akan diusung bila berhasil memimpin daerah ini.  Padahal pendekatan emosional seperti itu potensial menimbulkan konflik horizontal yang justeru dipicu oleh kepentingan elit sebagaimana terorinya Snyder. Meski Pilkada di Jawa Timur berlangsung berkelas pilkades, tetapi tak perlu berkecil hati, sebab di bagian lain negeri ini sepertinya kecenderungannya sama. Strategi tebar pesona artis sebagaimana Pilkada Jawa Barat begitu lazim terjadi. Kedewasaan politik serta berkembangnya pandangan pragmatis masyarakat dalam menyikapi pilkada dan pemilu selama ini sepertinya akan mampu menangkal potensi konflik-konflik horizontal. Lagi pula masyarakat sudah cukup paham bahwa ketidakjelasan visi kepemimpinan seperti itu terjadi karena pada dasarnya para calon pemimpin daerah tidak memiliki visi, selain kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H