Menjelang akhir masa jabatannya mendiknas memaksakan penerapan kurikulum baru, kurikulum 2013. Pemerintah mengklaim kehadiran kurikulum baru tersebut sebagai solusi atas persoalan-persoalan pendidikan di tanah air. Di antara jargon yang didengung-dengungkan adalah dalam rangka mengantisipasi perkelahian pelajar dan menyongsong ledakan generasi emas tahun 2020-an.
Banyak pihak sudah mempertanyakan kebijakan tersebut, tetapi tidak menyurutkan ambisi mendiknas, meski ide tersebut konon dibidani oleh wamendiknas. Berbagai alasan dikemukakan untuk mengokohkan dan mengukuhkan kebijakan tersebut. Berbagai reasoning dikemukakan oleh pemerintah yang seakan telah menjawab semua keraguan berbagai pihak.
Seperti sudah diduga sebelumnya, penerapan kurikulum 2013 tak mengubah apapun selain nama kurikulum, dan penghamburan uang rakyat milyaran rupiah. Kurikulum 2013 yang efektif dilaksanakan serempak mulai tahun pelajaran 2014-2015 pada jenjang persekolahan SD-SLTA tak ubahnya proyek terminal mikrolet di tengah belantara.
Mega proyek tersebut besar kemungkinan sia-sia, karena berbagai sebab, bahkan jauh dari memenuhi syarat penerapan kurikulum di sebuah negara besar. Di antara penyebabnya adalah sebagai berikut.
Proyek Kejar Tayang
Terlepas dari substansi perubahan kurikulum yang dilakukan, penerapan kurikulum 2013 dilakukan secara terburu-buru. Apalagi penerapannya dilakukan pada waktu yang tidak tepat, yaitu di akhir masa jabatan menteri. Mendiknas tidak mungkin mengawal kurikulum baru tersebut karena sudah harus melepas jabatannya beberapa bulan sebelum kurikulum benar-benar dilaksanakan.
Sepertinya kehadiran kurikulum 2013 belum lebih dari pemaksaan ambisi pribadi mendiknas untuk membuat "kenang-kenangan" untuk masa jabatannya yang panjang. Kurikulum 13 hanya dibuat demi menyaingi mendiknas sebelumnya, Bambang Sudibyo, yang sudah menelurkan KBK dan KTSP.
Padahal mendiknas penerusnya belum tentu seide dengan pendahulunya. Bahkan sudah jamak diketahui bahwa di negeri ini ada kecenderungan setiap ganti menteri ganti kurikulum. Itu sebabnya para pelajar negeri ini sudah kenyang dijadikan kelinci percobaan yang gagal oleh banyak menteri pendidikan.
Lemah Dukungan Infrastruktur
Kurikulum 2013 tak lebih dari proyek yang dipaksakan, tanpa konsep, metodologi dan langkah-langkah penerapan yang realistis. Mendiknas terlalu gegabah membuat perubahan kurikulum di tengah situasi dan proses persiapan yang jauh dari memadai. Secara tiba-tiba mendiknas sudah "mendekritkan" Kurikulum 2013 yang hanya disampaikan secara sambil lalu. Perubahan kurikulum yang sedemikian signifikan hanya dilatihkan pada guru hanya 5 hari, hingga tak lebih dari sekedar sosialisasi. Bahkan setelah resmi diterapkan saat ini, belum seluruh guru mendapat pelatihan.
Kurikulum 2013 bukan saja lemah lemah dari sisi konsep, tetapi juga kesiapan bahan sumber daya dan implementasinya. Bahkan hingga dua bulan sejak diterapkan, buku pegangan yang nota bene disediakan oleh pemerintah belum juga sampai di sekolah. Padahal berkaca pada penerapan kurikulum sebelumnya, KBK dan KTSP, penerapan sebuah kebijakan kurikulum memerlukan persiapan bertahap dan proses panjang.
Betapapun buruknya KBK dan KTSP di mata mendiknas, penerapan kurikulum tersebut sudah didahului dengan serangkaian pelatihan panjang dan massive, bahkan melibatkan berbagai lembaga asing. Berbagai upaya perubahan paradigma dilakukan, dan itupun belum sepenuhnya berhasil mengubah pola pembelajaran para guru. Bila pelatihan-pelatihan yang massive saja belum membuat KBK dan KTSP sepenuhnya berhasil diterapkan, apalagi dengan kurikulum 2013 yang diterapkan secara instan.
Kurikulum Galau
Kurikulum 2013 tak dapat dipungkiri hadir sebagai reaksi atas beberapa kasus di dunia pendidikan di masa jabatan mendiknas saat ini. Kurikulum 2013 dapat disebut sebagai kurikulum reaktif, buah kegalauan mendiknas terutama akibat munculnya beberapa kasus yang melibatkan pelajar. Meski pada akhirnya diperluas dengan isu-isu lain, seperti plagiarisme dan penyiapan sumber daya manusia, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran kurikulum ini merupakan buah dari sikap reaktif pemerintah.
Ironisnya reaksi tersebut diwujudkan dengan mengubah kurikulum secara frontal. Padahal kurikulum bukan segalanya, dan tidak menyelesaikan segalanya. Kepanikan mendiknas melahirkan kebijakan over-reaktif. Berbagai kasus yang mestinya cukup diatasi dengan beberapa kebijakan kecil, direaksi dengan mengubah kurikulum yang sedemikian drastis.
Kurikulum Utopis
Sikap mendiknas yang terlalu reaktif bukan menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya. Mendiknas terlalu berharap banyak pada kurikulum sebagai cara mengubah sikap dan perilaku anak secara total. Melalui kurikulum 2013 mendiknas berupaya me-maintance masa depan anak Indonesia berbasis pendidikan formal dengan harapan bombastis.
Kurikulum 2013 bukan hanya ditujukan sebagai pembekalan keilmuan melainkan juga pembentukan sikap, perilaku bahkan spiritualitas. Itu sebabnya substansi kurikulum 2013 begitu melangit, muluk-muluk. Konsep inti kurikulum 2013 bukan hanya untuk mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas secara akademik dan vokasional, melainkan juga menjadi jaminan masuk surga dengan pendekatan saintific.
Mendiknas berusaha membangun sikap ilmiah, sikap sosial, bahkan spiritual dari sekolah, seakan hendak mengambil alih institusi-institusi sosial lain yang turut berperan membentuk watak setiap anak. Â Karena begitu tingginya konsep yang dibuat, maka kurikulum sulit diwujudkan secara nyata, bahkan bahan ajar hingga penilaian menjadi semrawut.
Kurikulum 2013 seakan hadir dari langit sebab sepertinya tidak pernah diterapkan di belahan dunia sebelah manapun. Mendiknas selalu berdalih semua dilakukan demi meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia yang dinilai masih rendah. Padahal faktanya, kualitas pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak kalah dari negara maju sekalipun, kecuali dalam hal fasilitas dan infrastruktur penunjang.
Degradasi Peran Guru
Salah satu perubahan fundamental dalam kurikulum 2013 adalah pengambil-alihan (kudeta) terhadap peran guru. Pemerintah tidak percaya lagi pada kompetensi guru sebagai pengembang ilmu. Itu sebabnya kurikulum 2013 menempatkan guru hanya sebagai operator, layaknya buruh pabrik dengan tugas sangat spesifik. Guru tidak perlu berfikir, dan tinggal mengikuti manual book yang disediakan pemerintah.
Kurikulum 2013 telah mengubah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai kebenaran otoritatif, otoritas pemerintah. Pemerintah yang mendiktekan kebenaran, bahkan sudah dalam bentuk buku yang tinggal pakai (plug and play). Guru bukan lagi manusia yang mampu berfikir, berilmu pengetahuan, dan berkreasi, karena mereka hanya harus patuh mengikuti semua alur yang sudah disiapkan dalam oleh pemerintah.
Tidak Mengubah Cara Mengajar Guru
Dengan konsepnya yang utopis, kurikulum 2013 hanya dilatihkan selama lima hari, hingga tak lebih dari sekedar sosialisasi. Padahal pendekatan kurikulum 2013 yang nota bene mengedepankan pendekatan scientific seharusnya dimulai dari perubahan paradigma dan praktik pembelajaran yang terukur. Guru perlu dipersiapkan secara bertahap hingga memenuhi kualifikasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru.
Jangankan mempersiapkan guru, konteks kurikulum yang lebih tidak jelas dibanding kurikulum sebelumnya menjadikan kian naif untuk diterapkan. Jargon pendekatan ilmiah (scientific) yang dikedepankan dalam praktiknya jauh panggang dari api. Selain ilmu yang kebenarannya terbuka telah direduksi menjadi otoritatif, kurikulum 2013 hanya meletakkan guru sebagai subordinasi birokrasi yang kaku.
Hingga saat ini guru masih mengajar seperti sebelum ada kurikulum 2013. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan bahan ajar yang diproyekkan, kemudian didiktekan ke sekolah. Selebihnya hanya menyisakaan kebingungan akibat proyek gagal yang dipaksakan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H