Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Tak Langsung Mengebiri Demokrasi

16 Desember 2024   07:46 Diperbarui: 16 Desember 2024   09:56 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menerapkan Pilkada Tidak Langsung sama artinya dengan merampok keputusan rakyat dan menyerahkannya pada “pemilik partai”, karena sudah pasti tidak ada calon kepala daerah yang dapat maju mencalonkan diri kecuali atas restu dan kesiapan untuk patuh pada kehendak oligarki partai. Dalam situasi seperti ini, rakyat hanya akan menjadi penonton yang diliputi perasaan kesal melihat banyak kebijakan yang sudah pasti lebih mengutamakan kepentingan “pemilik partai” dibanding rakyat banyak.

Dominasi dan hegemoni parpol juga akan membuat kepala daerah akan bekerja lebih ringan mengingat mereka tidak memiliki beban moral apapun di harapan rakyat. Tidak adanya gegap-gempita dukung-mendukung, tolak-menolak atau antipati terhadap calon tertentu, membuat kontrol sosial semakin melemah. Tanggung jawab dan beban politik kepala daerah hanya memuaskan anggota DPRD bukan rakyat yang tidak pernah mendukung dan memilihnya.

Melihat track record kinerja DPRD selama ini, mengharapkan kontrol DPRD terhadap kepala daerah secara memadai merupakan harapan yang jauh panggang dari api. Mereka bukan siapa-siapa selain karyawan partai, yang kemahiran terbaiknya adalah “politik dagang sapi”. Sejarah demikian baru saja terjadi dan pernah dievaluasi beberapa tahun silam, tapi entah mengapa kekonyolan serupa harus terulang kembali.

Menutup Saluran Aspirasi dan Potensi

Sekalipun dengan biaya yang tidak kecil, Pilkada Langsung telah melahirkan banyak pemimpin berkualitas. Seperti sebuah sekolah di kampus unggulan yang berbiaya mahal, Pilkada Langsung telah terbukti sukses sebagai wahana seleksi terhadap bibit-bibit kepemimpinan daerah bahkan nasional.

Pilkada langsung juga menjamin keadilan atas dasar kesamaan peluang politik bagi setiap warga negara dan terbukti telah melahirkan banyak tokoh politik lokal dan nasional yang integritas dan kompetensinya jauh lebih terpercaya dibanding politisi partai. Pilkada langsung telah membuat Indonesia diramaikan dengan kejutan-kejutan indah oleh munculnya tokoh-tokoh alternatif semisal Jokowi, Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil. Gibran, Tri Risma Harini dan sebagainya, yang mampu mewarnai dan memberi alternatif tentang bagaimana mengelola negara yang baik.

Banyak warga masyarakat yang sebelumnya bukan siapa-siapa, juga bukan aktivis ataupun pengurus partai tiba-tiba berkesempatan memimpin dan melakukan perubahan secara signifikan. Bahkan dalam Pilkada terakhir ada mantan kepala desa yang setelah sukses memimpin desanya mampu mengalahkan bupati petahana. Peluang semacam ini akan semakin langka dijumpai bahkan sangat boleh jadi akan hilang sama sekali bila Pilkada diselenggarakan secara tidak langsung.   

Pilkada tidak langsung akan membuat Pilkada berada di tangan segelintir orang partai yang kebanyakan tidak memiliki kompetensi, integritas dan kepercayaan publik secara memadai. Hal ini terbukti dari banyaknya pemimpin dan “pemilik partai” kalah populer dibanding calon kepala daerah yang diusung dalam pilkada bahkan pilpres. Ini biasa terjadi akibat para calon kepala daerah memiliki kompetensi dan pengalaman konkrit dari lapangan yang jauh lebih baik dibanding para aktivis partai yang kebanyakan hanya mampu bersuara nyaring tapi nyaris tak pernah berbuat apa-apa.

Bibit-bibit pemimpin terbaik daerah mungkin saja diusulkan oleh para pengurus partai dalam Pilkada Tidak Langsung, tapi dapat dipastikan kemungkinan itu sangat kecil dan hampir-hampir tertutup. Hal ini dikarenakan pemilihan oleh DPR membuat calon kepala daerah tidak harus seseorang yang dipercaya integritas dan kemampuannya dalam bekerja. Calon kepala daerah terbaik dalam Pilkada Tidak Langsung bukan terletak di tangan rakyat tetapi di tangan para pengurus dan "pemilik partai".

Pilkada Tidak Langsung hanya akan mengembalikan “reputasi” ketua partai yang hilang selama Pilkada Langsung. Para ketua atau “pemilik partai” akan menjadi tokoh yang paling berpeluang maju meski tidak memiliki kompetensi dan kepercayaan publik memadai. Jumlah pemilih yang hanya terdiri dari segelintir anggota DPRD menjadikan kemampuan lobi dan “dagang sapi” sudah cukup untuk menjadi modal memenangkan pilkada.

Dalam politik semacam ini, masyarakat tidak dapat terlalu berharap perubahan dan perbaikan kehidupan sosial, mengingat nasib kepala daerah ditentukan oleh kawan-kawannya calon kepala daera di DPRD, bukan oleh rakyat. Kepuasan rakyat yang biasa menjadi modal mencalonkan kembali tidak dibutuhkan lagi, sebab yang terpenting bagi kepala daerah adalah kemampuan “mengkondisikan" DPRD dan menyelesaikan segala persoalan politik "secara adat”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun