Kasus kedatangan orang-orang Rohingya di Aceh beberapa waktu terakhir menyita perhatian masyarakat. Berbeda dari kedatangan orang-orang Rohingya beberapa waktu sebelumnya yang disambut baik oleh masyarakat setempat dengan penuh simpati, kali ini masyarakat menolak kehadiran mereka. Bahkan UNHCR Indonesian banyak mendapat serangan netizen gara-gara membela pendatang gelap ini dan berharap pemerintah memperlakukan mereka sebagai pengungsi.
Media-media massa masih banyak yang menyebut rombongan orang Rohingya sebagai pengungsi, padahal perlu ditinjau ulang apakah mereka benar-benar pengungsi atau hanya imigran gelap. Kejelasan antara keduanya akan menentukan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan oleh masyarakat dan negara ini.
Bukan Pengungsi Tapi Imigran Gelap
Pengungsian biasanya terjadi akibat keterpaksaan, karena situasi di negara atau tempat asal yang mengancam kehidupan mereka, akibat perang atau bencana. Pengungsi hanyanormalnya hanya dilakukan sebagai perpindahan sementara dan akan kembali ke tempat asal saat situasi Kembali aman, kecuali situasi-situasi tertentu tidak memungkinkan mereka untuk kembali.
Masuknya rombongan orang-orang Rohingya ke Indonesia akhir-akhir ini tampaknya bukanlah peristiwa pengungsian, melainkan serbuan imigran gelap. Â Imigran adalah orang yang melakukan perpindahan ke negara lain dalam rangka mendapatkan kehidupan baru yang lebih baik atau alasan-alasan pribadi, seperti alasan pekerjaan atau pernikahan.
Berdasarkan pengakuan beberapa imigran Rohingya yang tersebar di media sosial, tampak bahwa kedatangan mereka bukan dalam rangka mengungsi, melainkan bermigrasi demi mencari kehidupan yang lebih baik. Meredanya konflik di Rohingya tidak lagi dapat menjadi alasan mereka eksodus ke negara lain dan yang paling mungkin terjadi adalah kesulitan kehidupan sosial ekonomi di daerahnya. Itu sebabnya ada beberapa imigran gelap yang saat diwawancari mengatakan bahwa keluarganya akan menyusul bila mereka sudah mendapat kehidupan yang layak di Indonesia,
Selain itu, kedatangan mereka ke Indonesia terjadi secara terkoordinir oleh agen perjalanan tertentu dengan membayar sejumlah biaya menunjukkan bahwa mereka bukan mengungsi, melainkan bermigrasi dalam rangka mencari penghidupan secara ilegal. Boleh dibilang bahwa mereka sebenarnya korban human trafficing, seperti yang terjadi pada kasus-kasus imgran gelap dari Afrika dan Timur Tengah yang merepotkan Eropa beberapa waktu lalu.
Politisasi dan Manipulasi Rohingya
Politisasi agama di Indonesia dan Malaysia atas peristiwa Rohingya di Myanmar beberapa tahun lalu telah menipu sebagian masyarakat sehingga begitu bersimpati terhadap orang-orang Rohingya dengan alasan membantu orang-orang seiman. Masyarakat baru terbuka matanya ketika mendapati sikap dan perilaku orang-orang Rohingya yang ternyata tidak tampak sebagai pengungsi korban dari ancaman gnosida etnis seperti yang dikampanyekan oleh para politisi penjual agama, meliankan imigran yang memanfaatkan isu konflik antar etnis di negara asalnya.
Keramahan masyarakat Indonesia terhadap rombongan orang-orang Rohingya yang datang sebelumnya menjadi kabar baik bagi orang-orang Rohingya di Myanmar ataupun Bangladesh untuk menyusul datang ke Indonesia. Yang terjadi saat ini adalah bahwa Indonesia telah dimanfaatkan oleh orang-orang Rohingya untuk keluar dari kegagalan para pemimpin negerinya dalam menyejahterakan masyarakat, yang mungkin mirip dengan situasi Malaysia yang diserbu imigran gelap Indonesia beberapa dasa warsa silam.
Setelah memahami maksud kedatangan orang-orang Rohingya, sangat wajar bila saat ini masyarakat menolak kehadiran mereka, mengingat mereka memang bukan pengungsi, melainkan imigran gelap yang menuntut diperlakukan layaknya pengungsi. Apalagi sudah jamak diketahui di berbagai belahan dunia bahwa kehadiran imigran gelap sama buruknya dengan kehadiran barang-barang impor ilegal, yang selain akan menjadi beban negara dan masyarakat, juga potensial merusak situasi sosial ekonomi, bahkan keamanan.