Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ngeri, Perawatan di Ruang Isolasi Covid-19

5 April 2021   00:52 Diperbarui: 5 April 2021   01:13 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kamis yang lalu, istriku periksa di rumah sakit milik institusi pemerintah, dan secara tak terduga dinyatakan terpapar Covid-19. Seketika lemas aku mendengarnya, tapi jadi sadar betapapun kita menghindari wabah ini, tapi selalu ada banyak cara tak terduga yang bisa membuat kita terkena dan karena tidak tahu lagi harus ke mana, tidak ada pilihan lain, selain menjalani rawat inap di ruang isolasi pasien Covid-19.

Meski sering mendengar cerita “horor” tentang isolasi pasien Covid 19 di rumah sakit, istriku memilih dirawat di sini. Apalagi istriku sudah dua kali dirawat di rumah sakit ini, pertama saat melahirkan dan kedua saat operasi batu ginjal sekitar satu setengah tahun yang lalu.

Malam pertama di rumah sakit, istriku bilang semua baik-baik saja. Lagi pula, meski harus memakai masker oksigen, kami masih bisa saling kontak lewat whatsaap. Istriku bilang lebih tenang berada di tangan ahli, meski pasien di tempat tidur sebelahnya berteriak-teriak minta minum sepanjang malam tanpa satupun perawat yang datang.

Aku sangat senang karena di hari kedua esok harinya 2 April 2021 istriku bilang kondisinya lebih segar dan merasa membaik dengan saturasi oksigen 98. Pukul 12.22 siang istriku minta ditelponkan perawat karena infusnya habis dan darahnya mengalir ke dalam selang. Karena tidak ada respon saya telpon siapa saja yang aku kenal di rumah sakit itu. Sampai pukul 12.35 istriku bilang, infus belum diganti tapi diberi tahu perawat untuk tidak usah menghubungi perawat sebab apapun yang terjadi mereka tidak akan masuk kecuali pada jam-jam tertentu.

Hari ketiga 3 April 2021 lebih menggembirakan lagi karena kondisi istriku tetap stabil dengan saturasi oksigen 98.  Hatiku penuh harap saat menjelang siang perawat menelponku agar mengambil plasma darah di PMI. Aku sangat berharap istriku segera mendapatkan pengobatan. Meski harus menunggu sampai malam hari, akhirnya plasma berhasil diantar ke rumah sakit. Kami sangat berharap istriku segera mendapatkan “vaksin” dan membuatnya kembali ke tengah keluarga.

Hingga tengah hari di hari keempat, kami sangat berharap kondisi istriku makin membaik. Aku tenang-tenang saja karena sepertinya kondisinya masih stabil, tapi istriku mengeluh seharian tidak satupun pertugas kesehatan masuk ke ruang isolasi. Mereka hanya masuk ruang isolasi pada jam-jam tertentu saja. Meski ruang isolasi itu menyediakan nomor handphone yang bisa dihubungi pasien sewaktu-waktu, tapi tidak satupun petugas yang mau datang ketika ada pasien memerlukan pertolongan.  

Dan benar saja, pukul 15.39 istriku mengeluh sesak nafas. Dengan suara tersengal-sengal dia telepon dan bilang tidak bisa bernafas. Dia melihat saturasi oksigennya menurun menjadi 92. Dia bilang sudah memanggil perawat via handphone, tapi tidak satupun datang. Aku telepon perawat dan mereka mengiyakan, tapi hingga satu jam lebih istriku masih mengeluh kesulitan bernafas via telepon. Aku mencoba menenangkan istriku sebisaku dari kejauhan. Beruntung pukul 16.53 kondisi istriku kembali stabil meski belum ada perawat yang datang.

Melalui whatsapp aku tak henti meminta istriku tenang dan berusaha terus bernafas sebisanya. Aku tak tahu harus berbuat apa karena istriku tidak menjawab pesanku. Aku hanya bilang padanya, “Apapun keadaanmu saat ini, kuharap mama baik-baik saja dan semakin membaik”.

Tak lama berselang seorang perawat pria menelponku. Dengan nada tersinggung, perawat itu bilang tidak perlu menghubunginya, karena mereka tahu kapan akan masuk ke ruang pasien. Aku iyakan saja apapun kata-katanya, meski ada satu pertanyaan yang aku pendam, apa benar perawat hanya masuk ke ruang pasien sesuai jadwal? Aku tak ingin berdebat dan hanya berharap istriku segera tertangani.

Hingga senja hari, beberapa pesanku pada istriku tidak terbaca. Aku berharap istriku memang sudah ditangani dengan cara apapun dan kembali stabil. Pukul 15.57 seorang perawat perempuan menelponku dan minta ijin memasang ventilator pada istriku. Aku tak punya pilihan selain mengiyakan meski aku lemas seketika mendengarnya, karena aku tahu bahwa itu  pertanda istriku dalam kondisi kritis.

Aku benar-benar terpukul di tengah-tengah hari-hari penuh harap, justeru mendapati keadaan sebaliknya. Habis maghrib aku kumpulkan anak-anakku dan dengan sedih kukabarkan berita tak menyenangkan itu pada mereka. Aku jelaskan pada mereka tak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa lebih keras lagi demi kesembuhan ibunya.

Di saat kami berdoa dengan penuh derai air mata tiba-tiba sebuah pesan tertulis dari nomor istriku,“Aku akan lebih bersabar lagi biar cepat sembuh”. Antara percaya dan tidak percaya, ternyata istriku tidak jadi dipasang ventilator. Dia bahkan tidak tahu akan dipasang ventilator untuk membantunya bernafas. Aku dan anak-anak berpelukan dan begitu bahagia mendengarnya.

Di tengah-tengah kelegaan itu, tiba-tiba kenalanku di rumah sakit menelpon dan menjelaskan bahwa istriku sedang menstruasi yang membuat kondisinya menurun. Aku cukup lega mendengarnya dan berharap kondisi istriku membaik malam ini. Akupun kembali chatting sama istri dan memberinya berpuluh-puluh pesan motivasi.

Pukul 21.48, tiba-tiba istriku kembali menelpon tapi tidak terjawab di handphoneku, lalu menelpon ke nomor anakku dengan nafas tersengal-sengal. Dengan suara parau istriku berteriak-teriak minta tolong karena tidak bisa bernafas. Dia sudah memanggil perawat via telepon tapi tak ada yang datang. Aku kembali berusaha menenangkannya dan memintanya mencoba bernafas sebisanya. Berkali-kali aku mencoba menelpon perawat, tapi tidak tersambung karena gugup.

Baru pukul 21.54 teleponku berhasil diterima seorang perawat wanita. “Istri saya tidak bisa bernafas tolong dibantu” pesanku dan perawat itupun mengiyakan. Sementara di hanphone anakku aku terus mendengar suara istriku berusaha berteriak minta tolong dengan suara tercekik. Beberapa lama aku memintanya tenang, menyebut nama Allah dan bersabar. Sambil menenangkan istriku, beberapa kali aku kontak perawat via whatsapp, “Tolong, istriku tak bisa bernafas”. Aku lega setelah 21 menit kemudian mendengar suara seseorang masuk ke ruangan istriku dan sejenak kemudian telepon terputus. Pukul 23.05 perawat mengabarkan bahwa istriku akhirnya diberikan ventilator untuk membantu pernafasannya. Aku lega mendengarnya. Apapun tindakan yang dilakukan, setidaknya istriku tidak dibiarkan menderita. 

Meski demikian, sejujurnya aku lega dengan perasaan terluka dan memendam beribu tanya. Penyakit istriku memang membahayakan perawat dan petugas kesehatan yang bekerja di sana, tapi benarkah petugas kesehatan hanya masuk ke ruang pasien pada jam-jam tertentu saja?” Seperti itulah SOP penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil dan bisa naik-turun sewaktu-waktu? Bagaimana bisa pasien yang sudah tercekik tanpa bisa bernafas harus menunggu jadwal untuk mendapatkan pertolongan?

Aku memang awam soal ilmu kedokteran, tapi bila benar cara kerja semacam ini, aku jadi berfikir banyak pasien tak tertolong bukan karena tingkat keparahan penyakitnya, tapi karena cara kerja dan tanggung jawab profesi yang tak masuk akal. Ingin sekali memindahkan istriku di rumah sakit lain, tapi di mana? Jangan-jangan ini sudah “tradisi” kita, sehingga dirawat di rumah sakit manapun sama saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun