Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilai Pilpres Berdasarkan Hadits Nabi

30 Juli 2014   03:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:53 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 menyuguhkan persaingan yang tidak sehat. Kampanye negatif bertebaran bahkan sejak masa kampanye belum mulai. Dimulai dari puisi sindiran sarkastik Fadli Zon terhadap Joko Widodo dan berbagai puisi tandingan, hilangnya independensi media massa, berbagai manuver politik di tingkat grass-root hingga elit, serta merebaknya berbagai tuduhan provokatif melalui media-media tidak resmi. Tidak ketinggalan pula, berbagai fitnah yang seakan halal digunakan meski dengan mengangkat isu-isu keagamaan, bahkan sebagian menggunakan nash-nash keagamaan.

Saat Quick Count hasil pilpres lembaga-lembaga survey yang kredibel diumumkan, di media-media sosial muncul banyak artikel dan status yang menyajikan Hadits nabi saw. Yang diriwayatkan oleh al-Hakim. Arti Hadits tersebut berbunyi, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di mana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanat dan orang yang amanah dikhianati” (HR. Al-Hakim). Status serupa kembali bertebaran sesaat setelah hasil prilpres diumumkan oleh KPU secara resmi, 22 Juli 2014.

Para pendukung capres nomor urut 1,  Prabowo Subiyanto, tentu saja mengamini status tersebut, yang sebagian disertai berbagai komentar negatif atau bernada keprihatinan terhadap masa depan bangsa. Tak diragukan lagi bahwa hadits tersebut sengaja digunakan untuk menjustifikasi bahwa kemenangan capres nomor urut 2, Joko Widodo, yang dianggap sebagai kemenangan pendusta dan pengkhianat. Kekalahan Prabowo dimaknai sebagai kekalahan orang jujur dan amanah.

Sebaliknya, para pendukung Joko Widodo menanggapi hadits tersebut dengan penuh syukur, meski tak sedikit yang disertai pujian pada Jokowi dan hujatan atas Prabowo yang menolak hasil pilpres. Bagi para pedukung Jokowi Widodo, kemenangan Jokowi dimaknai sebagai momentum terbebasnya Indonesia dari tangan pendusta dan pengkhianat, yang dikonotasikan dengan Prabowo Subiyanto. Kemenangan Jokowi dipahami sebagai kemenangan orang jujur dan amanah.

Hal ini menunjukkan bahwa nash-nash keagamaan pada dasarnya sangat dilematis bila digunakan dalam konteks politik. Setiap kelompok dapat menggunakan nash yang sama untuk menilai situasi yang berbeda, sebab nilai (politis) seorang tokoh bagi setiap kelompok berbeda-beda. Prabowo adalah tokoh baik bagi pendukungnya, demikian pula Jokowi.

Itu sebabnya penggunaan nash keagamaan sepertinya bukan pilihan bijak dalam menilai hasil pilpres. Bagaimanapun ranah politik berbeda dari ranah agama, di mana kebenaran politik dan agama memiliki dimensi yang berbeda. Politik berada dalam ranah sosiopsikologis-pragmatis, sementara agama berada pada ranah normatif-spiritualistik, dan keduanya tidak dapat dicampur-adukkan begitu saja dalam segala hal.

Politik tetaplah politik. Bahkan di negara yang `paling Islam` sekalipun – andai kata ada - politik tetaplah wahana bersaing untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dan definisi ini tidak pernah berubah. Melalui kelompok atau afiliasi politik tertentu, setiap komunitas berusaha merebut atau mempertahankan posisi kekuasaan, sebagai penentu kebijakan. Posisi tersebut memungkinkan mereka memperoleh mandat untuk memegang kendali kekuasaan, menikmati berbagai privillage dan mewujudkan apa yang menurut mereka sebagai kondisi paling ideal.

Apalagi persaingan politik di negara demokrasi bukanlah persaingan tertutup dan tidak berlaku selamanya. Sikap, perilaku dan tindakan apapun dibatasi oleh hukum, masa jabatan, dan dinamika masyarakat. Lain hanya dengan negara yang tidak menganut sistem demokrasi, di mana persaingan politik tidak memiliki batasan selain kekuatan senjata dan kekerasan. Konflik-konflik di Afganistan, Irak, Siria, Libya, dan berbagai negara di Timur Tengah akhir-akhir ini sudah cukup menjadi bukti betapa ketidakmampuan untuk membangun konsolidasi politik yang demokratis hanya membuahkan adu senjata, teror dan kekerasan. Tidak ada kekuatan yang mampu menengahi pergulatan kepentingan di negara seperti itu kecuali batasan kekuatan militer masih-masing kelompok.

Kebenaran politik bersifat abu-abu, semu, tentatif, situasional, dan cenderung pragmatis, sementara agama bersifat hitam-putih, benar-salah, surga-neraka, mukmin-kafir dan berdimensi eskatologis. Menilai seorang tokoh politik berdasarkan nash keagamaan sama halnya dengan mengambil alih otoritas Tuhan untuk menentukan surga dan neraka baginya secara sepihak.  Padahal manusia tak pernah mampu berperan seadil Tuhan, sebab setiap keputusan manusia, apalagi di bidang politik senantiasa lekat dengan subyektivitas sudut pandang, bahkan kepentingan politik.

Menggunakan nash-nash agama secara membabi-buta seperti itu hanya akan mengantarkan pada chaos, bencana sosial yang paling buruk bagi negara manapun. Masyarakat yang kukuh memandang situasi politik sebagai kemungkaran dan bertolak-belakang dengan nash agama akan melakukan segala cara untuk mengubahnya. Bila itu terjadi, maka kedamaian dan ketenangan yang merupakan kebutuhan dasar sebuah negara untuk maju dan berkembang akan sirna.

Menggunakan nash agama potensial meruntuhkan sendi-sendi sosial dan kultural demokrasi yang dibangun dengan susah payah selama ini. Dunia mengakui betapa Indonesia sudah cukup menikmati buah demokrasi yang dibangun selama kurun satu dekade terakhir. Demokrasi memang bukan sistem politik terbaik, tetapi sampai hari ini belum ada sistem lain yang pernah terbukti lebih baik. Negara demokrasi memiliki kepastian daur kepemimpinan yang menutup memungkinkan satu pilihan sikap, tindakan dan kebijakan politik secara permanen. Situasi yang demokratis bahkan membuka potensi bagi setiap bangsa untuk berkembang lebih dinamis, sebab perubahan senantiasa terbuka seiring dinamika masyarakatnya.

Menggunakan nash-nash keagamaan sebagai justifikasi bahkan berpotensi mempertajam konflik, sentimen dan antipati. Padahal di dunia politik selalu berlaku adagium “tidak ada yang abadi dalam politik”. Tidak ada lawan maupun kawan abadi. Hari, minggu, bulan dan tahun akan membuktikan bahwa dalam politik tidak akan pernah ada pemimpin yang benar-benar sempurna baik, maupun sepenuhnya jahat, sebagai mana tidak akan pernah ada koalisi yang sepenuhnya permanen.

Tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa menggunakan nash-nash keagamaan seperti itu juga sama halnya dengan merendahkan agama. Agama hanya dijadikan sebagai alat kepentingan politik, bukan politik sebagai alat kepentingan agama. Nilai Kebenaran agama terdegradasi dari kebenaran abadi (sholihun li kulli zaman wa makan) menjadi kebenaran sesaat seperti halnya kepentingan politik.

Bukan berarti politik dan agama harus dipisahkan sama sekali. Keduanya bahkan harus disatukan dalam konteks moral. Prinsip-prinsip moral politik, berupa kejujuran, keadilan, keterbukaan, kasih-sayang, dan saling menghargai perbedaan merupakan bagian dari nilai-nilai agama yang harus ditonjolkan, dan bukan menjustifikasi siapa yang paling sesuai dengan ajaran agama. Jangankan untuk urusan politik, pengalaman internal agama seperti pergulatan madzhab keagamaan sudah menunjukkan bahwa menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan siapa yang paling baik hanya berbuah kebuntuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun