Menurut survey Konsulat Jenderal Kinabalu, dari sekitar 52.000 siswa usia sekolah, baru sekitar 15.000 anak-anak TKI yang mengenyam pendidikan, baik di Yayasan Humana Borneo Child Aid Society maupun di Pusat Belajar yang didirikan oleh Kemndikbud.
Sementara itu, mereka membiak di wilayah yang memiliki kehidupan yang keras berbaur dengan berbagai suku bangsa, yang memiliki kultur dan karakter berbeda. Belum lagi kebiasaan buruk di lingkungan perkebunan yang sulit diberantas, seperti minuman keras, judi domino, togel, sabung ayam dan sebagainya.
Sebagai mantan tenaga pengajar yang pernah bersentuhan langsung dengan anak-anak TKI di Sabah, banyak pengalaman dengan karakter anak-anak TKI. Ketika berada di dalam ruang kelas, janganlah berharap menjumpai anak-anak yang penurut, bersikap santun, dan siap untuk belajar.
Apalagi, seorang guru biasa mengajar sampai lima kelas. Ketika kita memanggil siswa untuk maju ke depan, mereka akan langsung melompati meja di depannya. Jika kita tinggal sebentar saja, mereka akan berlarian di kelas, bahkan sampai saling melempar dengan buku perpustakaan yang ada di pojok ruangan.
jika ada anak yang berkelahi, atau ada anak yang diganggu anak lain, biasanya anak tersebut akan melapor kepada orangtuanya, keesokan harinya, anak tersebut akan datang ke sekolah. Kadang mereka hanya mengenakan kaos singlet dengan keringat bercucuran.
Untuk melengkapi keberaniannya, orangtua itu meminum semacam bir kaleng. Mulutpun tercium aroma minuman keras. Sebagai guru, harus bersikap hati-hati, akan orangtua tidak melakukan kekerasan kepada siswa lain, atau kepada guru, yang bisa memicu tawuran antargeng atau antarsuku.
Anak-anak TKI adalah anak Indonesia yang lahir di luar negeri. Jika mereka ditanya, apakah mereka itu warga Indonesia atau warga Malaysia, mereka akan mengatakan sebagai warga Malaysia. Ketika kita jelaskan tentang alat bukti warga Negara, seperti Id Card, atau KTP, paspor, baru mereka menyadari bahwa mereka bukan warga Malaysia.
Apalagi banyak orangtua mereka yang kadang kena razia KTP. Sebagai warga Indonesia, mereka tidak mengenal lagu kebangsaan, budaya daerah, dan banyak hal lainnya yang seharusnya dikuasai oleh seorang warga Negara.
Bisa dibayangkan, jika anak-anak itu tumbuh tanpa pendidikan, tanpa belajar agama, akan menjadi apa mereka. Sementara itu, ajaran agama hanya dianggap sebagai ritual belaka. Meskipun ada sebagian yang melaksanakan ibadah shalat misalnya, namun mereka tetap berjudi, sabung ayam, atau menegak minuman keras. Yang lucu, yang menjual minuman keras juga seorang yang rajin ibadah, bahkan siap berangkat haji.
Para pendidik dari Philipina, selain berbeda agama, mereka juga tidak memiliki karakter Nusantara. Mereka mengajar hanya mencari nafkah, tidak ada misi untuk mencerdaskan anak bangsa, membangun manusia seutuhnya, yang beriman dan bertaqwa.
Tak terbayangkan, jika tidak hadir guru-guru Indonesia yang dikirim oleh Ditjen GTK Kemdikbud, mereka akan berkembang tanpa karakter dan budaya yang jelas.