[caption id="attachment_218386" align="alignleft" width="448" caption="jejaring sosial"][/caption] Era millenium dengan percepatan perkembangan teknologi informasi telah memicu perubahan gaya hidup manusia. Individualisme menjadi salah satu entitas budaya yang nyaris tak terelakkan, ketika ruang sosial masyarakat turut pula berubah. Ya, hari ini kita begitu mudah membangun jalinan komunikasi dengan orang yang kita kenal bahkan tidak kenal dengan “satu kali klik”. Sudah sama-sama kita mafhum, jejaring sosial ( facebook, twitter ,dll ) dan teknologi informasi merupakan kombinasi ampuh yang mampu memanjakan manusia di era millenium untuk saling terhubung satu sama lain dalam ruang maya tanpa susah payah keluar rumah, atau bahkan beranjak dari tempat tidur. Karena, semuanya bisa dengan sangat gampang dilakukan dari genggaman tangan kita. Realitas sosial diatas sudah merupakan tuntutan global. Pergaulan di jejaring sosial seakan sudah menjadi kebutuhan sebagian besar kita. Alasannya bisa beragam, dari sekadar ajang reuni atau temu kangen dengan rekan sejawat semasa sekolah yang terpaut jarak dan waktu, menyambung silaturahim dengan anggota keluarga yang nun jauh dimana, atau bahkan dijadikan sebagai sarana bisnis online. Semuanya sah-sah saja, asal sesuai porsi masing-masing. Fenomena yang tak kalah menarik atas eksistensi jejaring sosial adalah, narsisme. Narsisme merupakan istilah yang bersumber dari mitologi Yunani tentang seorang pemuda tampan bernama Narsisus. Sigmund Freud mendeskripsikan sikap Narsis sebagai individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Narsis juga dipahami sebagai kecenderungan memandang diri sendiri secara berlebihan, senang menyombongkan diri, mengharap pujian, dan merasa diri paling unik atau paling mampu. Mencermati jejaring sosial lengkap dengan dampak positif-negatifnya, secara jujur harus kita akui, eksistensi jejaring sosial telah membawa gelombang narsisme cukup kuat. Gejala ini sangat mudah kita rasakan, dari “status” yang kita tampilkan, “komentar” yang kita yang kita sampaikan, atau pun gambar-gambar yang kita unggah ke halaman akun kita. Terlepas dari sadar atau tidak sadar pada saat kita melakukannya. Narsisme masyarakat modern ini juga dipicu oleh perubahan gaya hidup, realitas sosial, dan persaingan di semua lini kehidupan. Dari sisi ini, jejaring sosial mengambil peranan atas terjadinya erosi mental dan moral masyarakat kita. Sehingga banyak diantara kita ikut terjerembab dalam kubangan narsisme. By nature, jejaring sosial terlahir sebagai ekspresi narsisme kita. Namun narsisme yang seperti apa ?. Semuanya harus disikapi secara bijak. Bijak dalam mengekspresikan perasaan, ungkapan hati, dan kegelisahan pikiran. Bijak dalam mengunggah komentar, pantang mencemooh dan mengejek orang lain. Bijak dalam memilih gambar yang hendak kita tampilkan. Itulah kearifan yang mesti kita tampilkan dalam konteks pergaulan pada jejaring sosial. Narsisme juga permasalahan hati dan niat. Artinya, ketika kita akan melakukan sesuatu di jejaring sosial, entah update status atau pun yang lain, terpulang kepada niatan masing-masing. Karena niat adalah domain hati, maka hanya kita sendiri lah yang tahu. Orang lain tidak pernah tahu, namun menduga dan berprasangka. Asal semuanya didasari niat baik dan tulus, insya Allah apa pun yang kita lakukan tetap lah bernilai kebaikan. Salam... Nazarudin Latif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H