Malam itu badanku pegal semua, setelah menempuh perjalanan dari Jawa Tengah ke Jakarta, badan terasa kaku, kaki ngilu, pinggang sakit karena kelamaan di belakang setir. Capek, letih, dan "nggreges" kurasakan malam itu. Ku ambil Handphoneku, ku tulis sms : " Bisa datang kesini, malam ini, ditunggu jam sembilan ya!" tak lama kemudian ada sms balasan :" Ok, nanti jam sembilan saya kesana". Senang sekali dia bisa datang untuk melenturkan badanku yang pegal semua ini.
Tepat jam sembilan dia datang, mengetuk pintu. Kugelar karpet di ruang tengah, tak lupa secangkir kopi kusiapkan untuknya. Aku mulai membuka bajuku, hanya sarung dan celana pendek yang membalut tubuhku. Tangannya mulai menyentuh kaki-kaki pegalku. Disentuhnya ujung-ujung jariku, dan mulai ditekannya perlahan, wow sakit sekali,membuatku merintih setengah berteriak menahan sakit.
Dialah Sutat, tukang pijat langgananku. Umurnya baru 19 tahun asli Cikotok, daerah bekas tambang emas, yang sekarang gersang katanya. Lulus SMA, tiga tahun yang lalu Sutat mengadu nasib sebagai pemijat keliling di Jakarta. Dengan sepeda tuanya dan kaleng berisi koin dia keliling tiap malam ke perumahan-perumahan disekitaran Pamulang. "Krompyeng...krompyeng...krompyeng... begitulah suara kaleng itu setiap Sutat lewat depan rumahku. Tubuhnya kecil, tetapi mempunyai tenaga yang kuat, sehingga banyak orang suka dipijat sama Sutat, termasuk saya. Orangnya ramah dan tidak pernah mengeluh atas upahnya. Sutat orang yang selalu bersyukur dengan apa yang diterimanya.
Delapan bulan yang lalu, tidak seperti biasanya dia datang ke rumah membawa motor barunya. Kebetulan malam itu aku memanggilnya untuk memijatku. Ternyata uang dari hasil memijat keliling dia tabung, dan bisa buat beli motor, walaupun tiap bulan dia masih harus kirim uang ke orang tuanya, dia juga menanggung biaya sekolah adiknya yang masih SMA. Wah hebat sekali ternyata Sutat, walaupun hanya seorang pemijat keliling, tapi dia bisa membantu orang tua, adiknya dan dia sanggup hidup mandiri di Pinggiran Jakarta. Walaupun dia sudah ada motor, tapi dia tetap menggunakan sepedanya kalau sedang tidak ada orderan. Dia akan kayuh sepedanya, untuk menawarkan jasanya ke perumahan-perumahan setiap malam. Krompyeng...Krompyeng...krompyeng........
"Pak, saya mau beli laptop berapa ya harganya? yang bagus merk apa ya? " tanya Sutat pada suatu malam ketika sedang memijatku. "Buat apa beli laptop? mendingan di tabung saja uangnya, sayang kalau beli laptop cuman buat main game dan buka internet yang jorok-jorok" jawabku. "Bukan begitu pak, alhamdulillah saya sudah kuliah sekarang, sebulan yang lalu saya mendaftar di Universitas Pamulang, jadi saya beli laptop buat ngerjain tugas bukan buat macam-macam Pak" jawab Sutat dengan serius.
Wow..surprise sekali aku, Sutat yang hanya tukang Pijat keliling bisa kuliah S1 sendiri, dengan biaya sendiri. Padahal pendapatannya belum tentu dalam satu malam dia dapat uang lima puluh ribu. Saya semakin salut dengan Sutat, walaupun hanya tukang pijat keliling, dia mempunyai cita-cita yang tinggi, dia tidak menyerah dengan nasib. Dia ingin merubah nasib.
Aku bersyukur masih ada sekolah yang murah di Pinggiran Jakarta. Hanya dengan uang seratus lima puluh ribu perbulan, Sutat bisa kuliah S1 di Universitas Pamulang. Tidak ada pungutan-pungutan yang lain, yang membuat kantong Sutat kering. Ternyata biaya kuliah S1 si Sutat, jauh lebih murah dari biaya Play Group anak saya yang sama-sama sekolah di Pamulang. Semoga saja walupun murah, tidak mengorbankan kualitas. Semoga Sutat bisa menggapai cita-citanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H