Seperti yang kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa dalam keberagaman suku, ras, etnis, dan agama. Tidak lama lagi akan diselenggarakan pilkada serentak 2018 dan pemilu presiden dan wakil presiden 2019. Akan ada banyak pro dan kontra baik internal maupun eksternal partai politik yang akan beradu dalam perhelatan pemilihan pemimpin baru.
Tak hanya para pejabat lawas yang akan tampil kedepan mengusung partai mengharap suara rakyat, namun juga orang -- orang baru yang diharapkan oleh masyarakat muncul untuk memperbaiki sistem pemerintahan dimana tak sekedar ucapan di mulut -- komat--kamit seperti dukun, tetapi juga bukti dengan realisasi dan implikasi nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sedikit menengok ke belakang, dari seluruh pelaksanaan kinerja para pemimpin kita yang dulunya sempat menebar janji (uang juga - alias money politic) yang sekarang duduk manis -- tanpa gula di pemerintahan yang makin lama makin keenakan hingga rentan terdengar "Pejabat walikota atau bupati melakukan korupsi bla bla bla . . .", selama itu mereka terus menggembor -- gemborkan visi misi mereka, tapi seakan -- akan suara rakyat yang memilih mereka (para pejabat) dan mecoba menyampaikan berbagai aspirasi, pendapat, serta kritik saran yang kontruktif, seperti ibarat bagai batang korek api basah -- mlempem tersulut oleh api. Harapan masyarakat pupus -- kecewa akan segala janji yang ada. Rakyat merana pemimpin leha leha - ironi.
***
Menyoroti dari proses pilkada dan pemilu sebelumnya, sudah banyak mereka partai politik yang memanfaatkan media siber alias dunia maya untuk melakukan kampanye. Karena dunia internet melalui media sosial dirasa sangat efektif dalam menarik simpati masyarakat. Akses yang mudah, audiens yang luas, kecepatan informasi, sebagai media interaksi, murah, dan bersifat multimedia. Itulah kelebihan berkampanye melalui media sosial.
Namun mengapa kampanye di dunia maya itu banyak menimbulkan konflik? Bisa dikatakan era pemilihan pemimpin baru adalah era konflik. Tak sedikit calon pemimpin yang menggunakan jasa pengacara dan meminta bantuan kepolisian untuk melindungi dirinya dari setiap ancaman yang ada ketika melaksanakan kampanye. Dalam kenyataannya, kesempatan perlindungan itu dimanfaatkan oleh mereka partai politik untuk menciptakan intervensi di kalangan partai politik lainnya supaya calon pemimpin yang diusungnya bisa maju dengan mulus tanpa ada hambatan. Akhirnya konflikpun terjadi sebagai akibat dari intervensi yang dilayangkan. Itulah yang sering disalahgunakan oleh para calon pemimpin baru.
Namun demikian, sering disalahartikan juga bagaimana penggunaan fasilitas kampanye di media sosial yang telah diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pilkada dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berubah menjadi ajang provokasi dan saling melempar ujaran kebencian kepada calon lawan yang ikut serta dalam penyelenggaraan pilkada dan pemilu. Sangat disayangkan, hujatan yang merusak hingga timbul adanya teror tak hentinya sering menghantui calon lawan yang akan maju dalam pesta rakyat yang akan datang ini. Takut, pasti dirasakan oleh setiap manusia terhadap ancaman teror yang ada. Sehingga bagaimana menangkal rasa ketakutan yang ada dengan niat ingin memajukan bangsa? Kita tunggu saja keberanian dan kemantaban persiapan calon yang diusung oleh setiap partainya.
Dengan kasus provokasi dan ujaran kebencian -- hate speech yang pernah terjadi seharusnya pemerintah melalui Menkominfo dan jajaran bawaslu serta kepolisian hendaknya segera melakukan pencegahan dini terhadap segala potensi ancaman yang mungkin menggeliat di pilkada dan pemilu mendatang. Berlakukan batasan bagaimana cara berkampanye di media sosial yang benar dan tidak menyimpang dalam hal ini adalah tugas KPU. Black campaign -- itulah yang sering menyulut adanya intervensi di kalangan masyarakat sehingga banyak menimbulkan konflik. Maka, perlu adanya kontrol dari KPU dan pihak yang berwenang lainnya guna mengatasi hal ini.
Selanjutnya, pemerintah lebih menggalakkan aturan yaitu pada UUD 1945 pasal 22 E ayat 1 mengenai azas LUBER JURDIL. Bilamana setiap partai yang mengusung calonnya menerapkan azas tersebut sangat dimungkinkan untuk meminimalisir konflik yang ada. Tak hanya sosialisasi secara langsung, namun juga melalui peran media sosial sangat mendukung demi cepat dan luasnya sosialisasi yang dilakukan. Timbulkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pesta rakyat nanti.
Terakhir, perlu adanya peran dari tokoh masyarakat (ketua RT, RW, dan lain sebagainya) untuk menggalang warganya kearah yang baik dengan tujuan supaya tidak lagi ada intervensi dari pihak lain yang menyengsarakan atau menyudutkan bakal calon yang akan diusung pada perhelatan besar pilkada 2018 dan pemilu 2019 nantinya.
Maka, gunakan dunia maya untuk berkampanye dengan sebijak -- bijaknya. Jauhkan dari segala tindakan menyimpang terutama di media sosial. Tuai positif dengan gerakan yang etis, mari kita dukung penyelenggaraan pilkada 2018 dan pemilu 2019 secara sehat dan bertanggungjawab.