Mohon tunggu...
Nasakti On
Nasakti On Mohon Tunggu... -

Hidup adalah menunda kekalahan Karena kehidupan adalah awal dari kematian Dan Kematian adalah awal dari kehidupan Yang kekal dan abadi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerintahan Sipil Rentan Dikudeta

6 Juni 2014   21:36 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:59 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14020400901833012284

[caption id="attachment_340805" align="alignnone" width="600" caption="Ilst/Kudeta Thailand/Fhoto Okezone"][/caption]

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang rencananya akan di gelar pada 9 Juli 2014, hanya tinggal mengjitung hari. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusatpun telah menetapkan hanya dua pasangan yang akan maju untuk bertarung memperebutkan RI 1 dan 2, yakni pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dengan nomor urut 1 dan pasangan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) dengan nomor urut 2.

Dan dari berbagai kalangan, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah memastikan bahwa Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu akan berlangsung satu putaran. Dari kedua pasangan ini Prabowo-Hatta Rajasa, Jokowi – JK masing masing memiliki khans untuk memenangkan pemilihan yang di lakukan oleh rakyat Indonesia secara langsung.

Walaupun kedua pasangan ini memiliki khans yang cukup besar untuk memenangkan pertarungan memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2, akan tetapi dukungan dari Tentera Nasional Indonesia (TNI) yang dulunya di sebut sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), cukup menentukan bagi seorang Presiden terpilih dalam menjalankan roda pemerintahan.

Sejarah Indonesia telah membuktikan jika seorang Presiden tidak mendapat dukungan dari TNI, akan mengalami nasib yang tragis. Seperti Presiden Soekarno ketika memimpin Indonesia, dalam gejolak politik yang terjadi di Negara Indonesia saat itu, tak mampu untuk mempertahankan jabatan kepresidenannya, ketika Pristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi. Kekuasaan Soekarno dengan rapuhnya dapat di runtuhkan oleh TNI yang di motori oleh Suharto.

Kemudian ketika Abdulrahman Wahit (Gusdur) yang ditengarai terlibat kasus dugaan korupsi Bolog Get, juga mengalami nasib yang naas dalam kepemimpinannya, Gusdur di goyang oleh Parlemen dengan melakukan pemazluman. Walaupun Gusdur sempat melakukan perlawanan dengan mengeluarkan Dikrit untuk membubarkan DPR, namun Dikrit yang di keluarkan oleh DPR dianggap sebuah lelucon. Akhirnya Gusdur dengan rela menyerahkan jabatan keprisedenannya, yang kala itu di gantikan oleh Megawati Soekarno Putri sebagai wakilnya. Dan Mega melalui DPR mengangkat Hamzah Haz selaku wakil Presiden.

Karena apa dikrit yang di keluarkan oleh Gusdur tidak mendapat tanggapan, oleh pihak DPR, di sebabkan Pemerintahan Gusdur kala itu tidak di dukung oleh kekuatan meleiter. Jika pemerintahan Gusdur di dukung oleh kekuatan meliter, berapalah sulitnya untuk mengosongkan gedung DPR dari anggota parlemen. Akan tetapi karena pemerintahan yang di pimpin oleh Gusdur tidak di dukung oleh meliter, maka dikrit yang di keluarkan oleh Gusdur dianggap angin lalu.

Kita tidak mengatakan bahwa pemerintahan yang tidak di dukung oleh kekuatan meliter, akan rapuh, dalam arti kata mudah untuk di kudeta. Di dunia ini terjadinya kudeta, baik oleh rakyatnya maupun meliternya, tidak terlepas dari kekuatan unsure kedua belah pihak. Tak mungkin kudeta yang di lakukan oleh rakyat bias berhasil jika tidak di dukung oleh kekuatan meliternya. Tapi sebaliknya kudeta yang di lakukan oleh meliter dapat berhasil walaupun harus mendapat dukungan dari rakyat.

Dari dua contoh pemerintahan yang di pimpin oleh sipil ini, kita bias mengambil perbandingan. Jika Pasangan Jokowi – JK menjadi Presiden dan pemerintahan nya tidak mendapat dukungan dari kalangan meliter dalam hal ini TNI, tentu sulit bagi Jokowi – JK untuk menjalankan roda pemerintahan. Nasib kepemimpinan Jokowi – JK mungkin akan sama dengan nasib yang di alami oleh Soekarno dan Gusdur. Walaupun di dalam undang undang sudah diatur bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden dia adalah Panglima Tertinggi di TNI atau ABRI.

Akan tetapi kita juga tidak boleh lupa, bahwa sistim kepemimpinan di TNI atau ABRI adalah sisitim komando. Yang berpangkat lebih rendah harus hormat dan patuh pada perintah yang datangnya dari pangkat yang tertinggi. Gelar yang di berikan kepada seorang Preesiden sebagai Panglima Tertinggi di TNI atau ABRI tentu berbeda jika yang menjadi Presiden itu adalah orang sipil. Sejarah telah membuktikan bahwa TNI atau ABRI tidak akan pernah tunduk pada perintah Sipil. Sekalipun Sipil itu di beri gelar sebagai Panglima Tertinggi di TNI atau ABRI.

Maka ketika zaman Orde Baru, Suharto mengangkat Gubernurnya dari kalangan meliter yang berpangkat perwira tinggi. Walaupun jabatan Gubernur itu boleh di jabat oleh sipil. Karena apa, karena untuk mensejajarkan pangkat seorang Gubernur dengan pangkat seorang Kodam maupun Kapolda yang di jabat oleh Jendral berbintang satu kala itu.

Hal ini di lakukan oleh Suharto untuk memudahkan komunikasi antara Gubernur selaku kepala Daerah di Provinsi dengan jajaran Kodam dan Kapolda. Tentu Gubernur tidak akan sungkan sungkan untuk memberikan perintah kepada Kodam dan Kapolda jika perlu untuk di lakukan.

Sementara jika yang memerintahkan itu adalah sipil, belum tentu yang memberi perintah berani dengan tegas untuk memerintahkan TNI atau ABRI dalam suatu keperluan, dan sebaliknya pihak yang di perintah juga belum tentu mau untuk menerima perintah yang datangnya dari sipil. Akan tetapi  berbeda jika yang memerintahkan itu juga TNI atau ABRI yang mempunyai pangkat lebih tinggi dari yang di perintah sekalipun jabatan yang di sandangnya adalah jabatan sipil, dengan sistim komando jelas perintah akan di laksanakan.

Gusdur ketika menjadi Presiden pernah mengalami hal itu. Ketika tersebar isoe bahwa ada judi di kapal pesiar milik Tomy Winata di muara Sunda Kelapa. Gusdur memerintahkan untuk menangkap Tomy Winata kepada Kapolri, akan tetapi perintah Gusdur seorang Presiden tidak pernah di laksanakan oleh Kapolri. Padahal Gusdur Adalah Panglima Tertinggi TNI atau ABRI kala menjabat Presiden. Tentu berbeda jika Gusdur memang dari kalangan Meliter tentu perintahnya akan di laksanakan.

Selamat Sore Indonesia.

Salam buat mu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun