Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, sering dipandang sebagai pelopor dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, dan sosial. Organisasi ini kerap dipuji karena menghasilkan kader-kader yang dianggap superior dalam berbagai aspek, seperti intelektualitas, etos kerja, dan moralitas. Namun, klaim superioritas yang begitu sering didengungkan perlu mendapatkan kritik yang tajam. Apakah kader Muhammadiyah benar-benaar unggul dalam kualitas dan kontribusinya terhadap masyarakat? Atau justru ada dimensi yang belum diperhitungkan dalam penilaian ini?
Salah satu klaim utama mengenai kader Muhammadiyah adalah superioritas intelektual yang didukung oleh sistem pendidikan yang luas dan berkualitas. Muhammadiyah memiliki jaringan lembaga pendidikan yang menjangkau berbagai tingkatan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, klaim superioritas intelektual ini patut dipertanyakan. Apakah pendidikan yang diberikan cukup relevan dengan kebutuhan zaman yang terus berkembang?
Banyak lulusan Muhammadiyah yang berhasil meraih posisi penting di berbagai sektor, namun apakah kualitas intelektual ini diimbangi dengan kemampuan untuk menciptakan inovasi dan solusi atas masalah sosial yang semakin kompleks? Superioritas intelektual yang sering dibanggakan hanya diukur dari prestasi individu atau jumlah lulusan yang sukses dalam kariernya, namun jarang diukur berdasarkan seberapa banyak gagasan dan kontribusi nyata yang dihasilkan untuk mengatasi masalah-masalah krusial, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, atau ketidakadilan sosial. Tanpa terobosan intelektual yang relevan dengan dinamika global, klaim superioritas ini terasa tidak lebih dari sekadar retorika.
Etos Kerja yang Terkurung dalam Rutinitas
Kader Muhammadiyah juga dikenal dengan etos kerja yang tinggi dan moralitas yang kuat, dua aspek yang sering dijadikan ukuran keunggulan. Namun, ketika kita berbicara tentang etos kerja dan moralitas ini, kita harus mengkritisi sejauh mana nilai-nilai tersebut benar-benar diterjemahkan dalam tindakan yang memberikan dampak signifikan bagi masyarakat. Apakah kader Muhammadiyah hanya mengutamakan prestasi pribadi dan kepuasan diri, ataukah mereka benar-benar terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang mendalam?
Etos kerja yang tinggi menjadi sia-sia jika tidak disertai dengan kesadaran sosial yang mendalam. Moralitas yang dijunjung tinggi oleh kader Muhammadiyah sering kali hanya terjebak dalam konsep idealis tanpa menyentuh akar masalah yang lebih luas, seperti ketidakadilan struktural, kesenjangan sosial, atau eksklusi kelompok marginal. Kader Muhammadiyah sering kali dihormati karena pengabdiannya dalam pendidikan dan pelayanan sosial, tetapi di balik itu terdapat kekosongan dalam menyelesaikan persoalan sosial yang lebih besar. Pada akhirnya, moralitas yang tinggi hanya menjadi slogan kosong tanpa relevansi terhadap realitas kehidupan masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan dan ketimpangan.
Konservatisme yang Menghambat Pembaruan
Sebagai organisasi yang besar, Muhammadiyah sering kali terjebak dalam kebiasaan dan tradisi yang sudah ada, sehingga sulit untuk bergerak maju. Meskipun sering disebut-sebut sebagai pelopor pembaruan, dalam kenyataannya, banyak kader Muhammadiyah yang terjebak dalam rutinitas konservatif yang tidak memberikan ruang bagi perubahan signifikan. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk mempertahankan status quo dan tradisi yang ada, tanpa adanya upaya serius untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman.
Keberanian untuk menghadapi perubahan dan melahirkan ide-ide baru sering kali tertahan oleh ketakutan terhadap perubahan yang radikal. Padahal, tantangan zaman seperti perubahan iklim, kemajuan teknologi, atau kesenjangan sosial memerlukan pemikiran yang lebih berani dan solutif. Klaim mengenai superioritas kader Muhammadiyah, dalam hal ini, perlu dipertanyakan. Superioritas semacam ini hanya akan menjadi ilusi jika tidak diimbangi dengan kemampuan untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berani menanggapi dinamika zaman yang semakin cepat.
Pembaruan yang Masih Terhambat
Selain itu, klaim tentang superioritas kader Muhammadiyah sering kali gagal untuk mempertimbangkan kebutuhan akan pembaruan yang lebih mendalam. Banyak kader yang terjebak dalam pemikiran yang sempit dan tidak mampu berpikir secara transformatif. Mereka lebih nyaman mempertahankan tradisi yang telah ada tanpa memikirkan bagaimana tradisi itu harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Sebagai organisasi yang memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan, Muhammadiyah seharusnya mampu lebih responsif terhadap problematika zaman.