Mohon tunggu...
Narwanto Terasspeda
Narwanto Terasspeda Mohon Tunggu... wiraswasta -

Menulis sambil tungguin Ternak Sepeda beranak pinang,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kecepatan Tomcat Ini Hingga 2.485 km/h

24 Maret 2012   04:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tomcat atau dengan sebutan ilmiahnya Paederus Fuscipes atau disebut Semut Kayap yang masuk keluarga kumbang, akhir-akhir ini begitu menghebohkan masyarakat dimulai dari kota Surabaya. Seiring dengan serbuan isu kenaikan BBM, seolah si Tomcat tidak mau kalah dengan topik yang sedang menghangat hingga jadwal rencana kenaikan BBM April mendatang. Mungkin saja karena warga yang diserang bermukim di sebuah apartemen mewah, jadiekspos ke media lebih cepat karena didukung teknologi informasi saat ini. Sepertinya si Tomcat paham betul cara memanfaatkan media untuk mendulang popularitas.

Artinya, si Tomcat kini sudah masuk dan muncul ke ranah yang lebih luas, di media tentunya. Seolah-olah, semua info yang keluar dari “mulut” media selalu bisa bikin heboh, tak terkecuali jenis kumbang hitam orange yang memiliki panjang tubuh sekitar 7-10mm ini. Pertanyaannya, terus pada kemana berita-berita yang muncul tentang si polisi ganteng, persidangan kasus korupsi dan duka kekalahan timnas kawan-kawan Andik Virmansyah dengan Brunai Darussalam beberapa minggu yang lalu? Terkecuali berita seputar kondisi persepakbolaan tanah air yang hingga kini masih terus menghiasi beberapa stasiun televisi (yang berkepentingan) dari “kedua kubu” yang berseteru. Lagi-lagi peran media begitu besar dalam hal ini. Sepertinya masyarakat begitu cepat menerima juga begitu cepat melupakan informasi tersebut. Ada baiknya juga, namun justru disinilah letak titik kelemahan yang bisa diambil oleh para pakar media dalam mengubah persepsi masyarakat melalui media, “manipulasi persepsi” muncul kembali.

Kekawatiran beberapa pakar, ilmuwan dan guru besar serangga mulai muncul dengan beredarnya pemberitaan akan berbahayanya si Tomcat ini. Sebab, menurut mereka si Tomcat ini pernah mengalami penyebaran besar terjadi pada tahun 1908 dan 1915. Namun keberadaan si Tomcat justru menjadi sahabat bagi para petani yang berperan sebagai predator hama wereng pada musim tanam padi. Sehingga sudah sejak lama keberadaanya dalam siklus rantai makanan punya peranan penting menjaga ekosistem. Beberapa wilayah Indonesia saat ini sedang melaksanakan panen padi, sehingga ada kemungkinan persawahan yang menjadi habitat si Tomcat terusik, jadi mereka harus berpindah tempat. Ditambah cuaca beberapa hari terakhir disertai angin kencang juga dapat memicu penyebaran si Tomcat lebih jauh masuk ke pemukiman warga, dan kebetulan kumbang ini juga sangat menyukai cahaya yang terang.

Bagi para petani atau yang sudah terbiasa hidup diarea persawahan, keberadaan hewan ini menjadi hal yang lumrah. Bisa jadi mereka hidup berdampingan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kepanikan dari sejumlah warga, dibutuhkan media informasi yang berimbang, artinya sikap waspada tetap diperlukan namun tidak harus panik. Lagi-lagi peran media dibutuhkan untuk meredam kepanikan warga, selain itu juga bisa dibantu oleh peran beberapa pihak atau Dinas terkait dan bisa berkolaborasi dengan dinas lainnya, misal memanfaatkan lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah untuk bisa membantu sebagai penyambung lidah penanganan dan antisipasi yang tepat akan fenomena ini. Peran guru atau praktisi terkait bisa memberikan bahan pelajaran, pengertian bahkan mengenai cara penanganan kepada murid-murid sekolah untuk bisa diteruskan ke dalam lingkup keluarga mereka dirumah.

Tentang racun yang berada ditubuh si Tomcat yang diberitakan oleh media lebih berbahaya 10 kali lipat dari racun ular cobra, mengutip pernyataan Guru Besar Entomologi (Ilmu Serangga) IPB Soemartono Sosromarsono, "Tidak bisa diterima logika, jika dikatakan racun Tomcat sepuluh kali lebih keras dari ular kobra. Racun kobra masuk ke dalam darah sementara racun Tomcat hanya ada di kulit, itupun jika tergosok. Jika kena kulit hanya kemerahan saja, sama sekali tidak melepuh seperti diberitakan media,". Racun Tomcat tidak akan menempel dikulit jika tubuh Tomcat tidak rusak. Rusaknya tubuh Tomcat bisa karena tergencet sesuatu sehingga racun keluar dan menempel baik langsung ke kulit atau melalui media lain seperti pakaian misalnya. Penanganan yang benar akan mengurangi resiko yang disebabkan racun kumbang ini, seperti membersihkan menggunakan air dan sabun sesegera mungkin jika terkena.

[caption id="attachment_168020" align="alignnone" width="300" caption="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:F-14_Tomcat_DF-SD-06-03497.jpg"][/caption] Nah, sekarang bagaimana jenis kumbang ini bisa disebut oleh media dengan nama populer Tomcat? Bisa saja karena mungkin karena bentuknya yang dimirip-miripkan dengan sebuah pesawat tempur superioritas udara F-14 Tomcat buatan negara Amerika Serikat yang terbang perdana pada 21 Desember 1970, namun pada 20 September 2006, Tomcat si burung besi yang mampu terbang dengan kecepatan mencapai 2.485 km/jam ini ternyata sudah dipensiunkan dan diganti dengan F/A-18E/F Super Hornet. Namun bagaimanapun juga kecepatan pesawat ini sepertinya masih kalah dengan kecepatan populernya isu yang berhembus di Indonesia. Apa perlu harus kita beli bekas untuk membasmi si kumbang Tomcat yang sedang menyerbu persepsi warga negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun