Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ad Hominem dan Distorsi Argumen, Kesalahan Berpikir yang Menghambat Diskusi Konstruktif

28 Februari 2025   21:07 Diperbarui: 28 Februari 2025   21:07 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Shutterstock

Diskusi idealnya menjadi ruang bertukar gagasan, mencari solusi, atau sekadar memahami sudut pandang orang lain. Tapi, sering kali perdebatan yang seharusnya mencerahkan justru berujung pada kesalahpahaman, ketegangan, atau bahkan permusuhan.

Salah satu penyebab utama dari dinamika ini adalah munculnya kesalahan berpikir atau logical fallacies yang mengalihkan fokus dari substansi perdebatan. Dua di antaranya yang paling sering terjadi adalah ad hominem dan distorsi argumen.

Kedua kesalahan ini tidak hanya menghambat diskusi yang produktif, tetapi juga memperburuk polarisasi dalam masyarakat. Bagaimana cara kerja ad hominem dan distorsi argumen? Mengapa keduanya begitu sering digunakan, dan apa dampaknya bagi komunikasi kita? Mari kita telaah lebih dalam.

Memahami Ad Hominem, Serangan terhadap Personal Bukan Argumen

Ad hominem merupakan jenis kesesatan berpikir yang terjadi ketika seseorang menyerang karakter, latar belakang, atau aspek pribadi lawan bicaranya bukan membahas substansi argumen yang disampaikan.

Dalam bahasa Latin, ad hominem berarti "terhadap orangnya," yang menggambarkan bahwa fokus argumen beralih dari pernyataan yang diajukan kepada karakter individu yang menyampaikan pernyataan tersebut.

Sebagai contoh, dalam diskusi mengenai kebijakan ekonomi, seseorang dapat menolak pendapat orang lain bukan karena argumen yang lemah, tetapi dengan mengatakan, "Apa yang kamu tahu tentang ekonomi? Kamu bahkan bukan seorang ekonom." Serangan semacam ini mengabaikan validitas argumen yang disampaikan dan justru menggiring diskusi ke ranah personal.

Menurut Tindale (2021), ad hominem merupakan bentuk manipulasi retoris yang bertujuan untuk mendiskreditkan lawan bicara tanpa perlu membantah argumen secara logis. 

Kesalahan berpikir seperti ad hominem sering kali muncul karena berbagai alasan. Salah satunya adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan individu untuk memberikan counter-argumen yang kuat terhadap poin yang disampaikan lawan bicara.

Hirarki Ketidaksepakatan Graham (Piramida debat) | Image by paulgraham.com
Hirarki Ketidaksepakatan Graham (Piramida debat) | Image by paulgraham.com

Bukannya mengakui kelemahan dalam posisi mereka atau berusaha memahami perspektif lain, mereka memilih untuk menyerang pribadi lawan sebagai upaya untuk mendiskreditkan argumen tersebut. Hal ini tidak hanya menunjukkan kurangnya kedewasaan intelektual, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan dalam berpikir kritis.

Distorsi Argumen, Mengubah atau Memanipulasi Gagasan Lawan Bicara

Distorsi argumen terjadi ketika seseorang sengaja atau tidak sengaja mengubah, melebih-lebihkan, atau menyederhanakan argumen lawan bicara dengan tujuan membuatnya tampak tidak masuk akal atau lemah.

Distorsi ini sering disebut sebagai straw man fallacy, di mana seseorang membangun versi yang salah dari argumen lawan untuk kemudian dengan mudah disanggah.

Sebagai contoh, dalam perdebatan mengenai kebijakan lingkungan, seseorang mungkin menyatakan, "Kita harus mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek ini." Tapi, lawan bicaranya bisa saja membalas dengan, "Jadi, menurutmu kita harus menghentikan semua pembangunan dan membiarkan masyarakat hidup dalam kemiskinan?" Pernyataan tersebut merupakan distorsi karena tidak merepresentasikan argumen awal secara akurat.

Van Eemeren dan Grootendorst (2010) menjelaskan bahwa distorsi argumen sering kali digunakan sebagai strategi retoris dalam perdebatan politik dan wacana publik untuk mengaburkan makna serta mengarahkan diskusi ke arah yang menguntungkan pihak tertentu. 

Akibatnya, upaya mencari solusi yang rasional menjadi terhambat karena diskusi tidak lagi berfokus pada pokok permasalahan, melainkan pada interpretasi keliru yang disengaja.

Dampak Negatif Ad Hominem dan Distorsi Argumen

Baik ad hominem maupun distorsi argumen memiliki dampak negatif yang signifikan dalam berbagai konteks diskusi. Dampak-dampak tersebut meliputi:

Pertama, melemahkan etika diskusi. Kesalahan berpikir ini mengurangi kualitas diskusi karena menurunkan standar argumentasi. Alih-alih bertukar ide secara rasional, diskusi berubah menjadi ajang serangan pribadi atau manipulasi informasi.

Kedua, menghambat pemahaman dan solusi. Jika argumen didistorsi atau seseorang merasa diserang secara pribadi, individu cenderung bersikap defensif dan tidak lagi terbuka terhadap sudut pandang lain. Hal ini menghambat proses pemecahan masalah yang seharusnya bersifat kolaboratif.

Ketiga, meningkatkan polarisasi sosial. Dalam skala yang lebih luas, ad hominem dan distorsi argumen dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat. Ketika individu atau kelompok terus-menerus terlibat dalam diskusi yang tidak produktif, rasa saling percaya dan keterbukaan terhadap perspektif lain semakin berkurang.

Terakhir, merusak kredibilitas individu dan institusi. Diskusi yang didominasi oleh kesalahan berpikir berkontribusi pada hilangnya kepercayaan publik terhadap individu atau institusi yang terlibat. Hal ini sering terjadi dalam wacana politik, di mana serangan personal dan distorsi argumen digunakan sebagai strategi untuk melemahkan pihak lawan tanpa mempertimbangkan substansi perdebatan.

Mencegah dan Mengatasi Kesalahan Berpikir dalam Diskusi

Untuk mencegah ad hominem dan distorsi argumen, beberapa langkah berikut dapat diterapkan:

Pertama, fokus pada substansi bukan pribadi. Dalam menanggapi suatu argumen, penting untuk tetap berfokus pada isi pernyataan dan bukan pada karakter individu yang menyampaikannya. Kritik harus diarahkan pada ide yang diajukan, bukan pada latar belakang atau status seseorang.

Kedua, memverifikasi pemahaman sebelum menyangga. Sebelum membantah suatu pernyataan, upayakan untuk memahami argumen secara utuh. Jika terdapat ambiguitas, tanyakan klarifikasi kepada lawan bicara daripada langsung membuat asumsi yang dapat mengarah pada distorsi.

Ketiga, mengembangkan kesabaran dan pengendalian emosi. Kesalahan berpikir sering kali terjadi ketika diskusi berlangsung dalam suasana emosional. Oleh karena itu, menjaga ketenangan dan berusaha berpikir objektif dapat membantu mengurangi kemungkinan menggunakan argumen yang tidak valid.

Keempat, menerapkan prinsip-prinsip diskusi yang sehat. Menurut van Eemeren dan Grootendorst (2010), diskusi yang produktif memerlukan aturan dasar seperti menghargai lawan bicara, tidak melakukan manipulasi argumen, serta berusaha mencari titik temu. Lingkungan diskusi yang sehat dapat meminimalkan kesalahan berpikir dan meningkatkan efektivitas pertukaran gagasan.

Terakhir, meningkatkan literasi berpikir kritis. Paul dan Elder (2012) menekankan pentingnya pendidikan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Dengan memahami prinsip logika dan argumentasi, individu dapat lebih waspada terhadap kesalahan berpikir dan mampu membangun argumen yang lebih kuat dan valid.

Diskusi yang sehat merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan intelektual dan sosial. Akan tetapi, efektivitasnya dapat terganggu oleh kesalahan berpikir seperti ad hominem dan distorsi argumen. Kedua bentuk logical fallacy ini tidak hanya melemahkan kualitas debat, tetapi juga menghambat pencarian solusi dan meningkatkan polarisasi sosial.

Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk menghindari kesalahan berpikir ini, baik melalui peningkatan kesadaran individu, penguatan etika diskusi, maupun pendidikan berpikir kritis. Dengan demikian, diskusi dapat tetap menjadi sarana yang efektif untuk pertukaran ide, pencapaian pemahaman bersama, dan pengambilan keputusan yang lebih rasional.

Referensi

  • Paul, R., & Elder, L. (2012). Critical thinking: Tools for taking charge of your learning and your life. Pearson.
  • van Eemeren, F. H., & Tindale, C. W. (2021). Fallacies and argument appraisal. Cambridge University Press.
  • Grootendorst, R. (2010). A systematic theory of argumentation: The pragma-dialectical approach. Cambridge University Press.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun