Di usia dua puluhan, saya belajar sesuatu yang menarik, dunia ini punya logika yang sering kali berlawanan dengan hati nurani. Salah satu pelajaran terbesar datang dari hubungan sosial yang sering kali bergantung pada seberapa banyak kita mampu menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain.
Teman semakin mudah ditemukan ketika kita mengenakan topeng. Ya, semakin fake kita, semakin banyak orang yang datang untuk bersandar, bercanda, atau sekadar numpang tertawa. Sementara itu, menjadi realistis, menampilkan diri apa adanya tanpa manipulasi justru sering kali membuat kita terasing, kejujuran itu seperti magnet dengan kutub yang salah justru menjauhkan orang-orang.
Dunia sosial ibarat panggung besar. Orang-orang di atasnya sering kali hanya memperhatikan penampilan, gestur, dan senyuman, bukan esensi. Ketika seseorang memilih untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial dengan berpura-pura menyukai sesuatu, menyembunyikan ketidaksetujuan, atau sekadar ikut arus demi penerimaan maka ia akan dianggap menyenangkan, bahkan karismatik.
Tetapi, hubungan yang dibangun di atas kepura-puraan ini jarang bertahan lama. Sebagian besar hanya sekadar "transaksi emosional": seseorang menjadi fake untuk diterima, sementara orang lain menerima mereka karena mereka "nyaman" di sekitar kepalsuan itu. Dalam ekosistem seperti ini, relasi yang tercipta bersifat dangkal, penuh basa-basi, dan kosong dari makna.
Yang menarik adalah betapa manusia cenderung memprioritaskan jumlah daripada kualitas dalam hubungan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang lebih suka memiliki ratusan kenalan yang hanya mengucapkan "halo" sesekali dibandingkan dengan beberapa teman yang benar-benar memahami mereka.
Di sisi lain, menjadi realistis tidaklah mudah. Ketika seseorang memilih untuk jujur dan menunjukkan diri yang sebenarnya, risiko penolakan meningkat drastis. Mengapa? Karena dunia ini tidak nyaman dengan kejujuran. Orang lebih suka mendengar apa yang ingin mereka dengar daripada kebenaran yang mungkin tidak mereka sukai.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa mereka yang realistis cenderung memiliki lingkaran pertemanan yang lebih kecil. Bukan karena mereka tidak disukai, tetapi karena mereka memilih untuk tidak membuang waktu pada hubungan yang tidak tulus.
Mereka lebih memilih koneksi yang otentik, teman-teman yang menghargai mereka apa adanya, bukan karena "topeng sosial" yang mereka kenakan.
Tetapi, konsekuensi dari pilihan ini adalah kesendirian yang tidak bisa dihindari. Realisme sering kali terasa sepi karena sedikit orang yang benar-benar bisa menerima kejujuran, terlebih dalam konteks sosial yang sering kali dipenuhi tuntutan untuk "menjadi sempurna."
Mengapa Orang Takut pada Keaslian?
Berdasarkan pengamatan, salah satu alasan utama orang menghindari individu yang realistis adalah ketakutan terhadap refleksi diri. Kejujuran seseorang sering kali menjadi cermin bagi orang lain untuk melihat kekurangan mereka sendiri. Bukannya menerima cermin itu, kebanyakan orang lebih memilih menjauh. Â