Sejak diperkenalkan, Kurikulum Merdeka memberikan harapan baru bagi sistem pendidikan di Indonesia. Dengan pendekatan yang menekankan kebebasan bagi guru dan siswa, kurikulum ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan adaptif.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kurikulum ini tidaklah sederhana. Berbagai tantangan muncul, mulai dari keterbatasan fasilitas, ketimpangan pendidikan antarwilayah, hingga kesiapan guru yang bervariasi. Pertanyaannya kini muncul pasca pemecahan kemendikudristek adalah apakah Kurikulum Merdeka masih relevan dalam konteks pendidikan saat ini ataukah sudah saatnya untuk melakukan revisi yang mendalam?
Bagi banyak guru, Kurikulum Merdeka membuka peluang untuk lebih fleksibel dan kreatif. Tidak lagi terkungkung oleh tuntutan kurikulum yang serba ketat, guru dapat merancang pembelajaran yang lebih kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Guru menjadi arsitek utama dalam menentukan bagaimana pembelajaran disampaikan.
Di kota-kota besar dengan akses yang lebih baik, guru mampu memanfaatkan berbagai teknologi dan metode pembelajaran yang lebih variatif, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penilaian formatif. Namun, bagi banyak guru di daerah terpencil, kebebasan ini justru menjadi beban tambahan.
Ketika dilihat dari perspektif data, kondisi ini sangat kontras. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), masih ada 12 ribu sekolah di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) yang tidak memiliki akses internet. Selain itu, sekitar 48 ribu sekolah lainnya mengalami masalah dengan kualitas jaringan internet yang buruk. Data ini disampaikan oleh Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru Kemendikbud, Praptono, dalam konferensi video pada, kamis (22/10). (Sumber: CNN Indonesia)
Di daerah-daerah ini, Kurikulum Merdeka yang mengandalkan pembelajaran aktif dan penggunaan teknologi sulit diterapkan dengan baik. Guru yang harus menjadi agen perubahan malah terkendala oleh minimnya sarana dan prasarana. Tanpa akses yang cukup, bagaimana mungkin seorang guru bisa menerapkan metode pembelajaran yang interaktif dan kreatif?
Selain itu, tantangan terbesar datang dari kesenjangan kompetensi guru. Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Puskurjar Kemendikbudristek, Zulfikri Anas, mengungkapkan bahwa sekitar 30 persen sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka sebenarnya telah mendapatkan informasi mengenai kurikulum tersebut melalui berbagai saluran, seperti program Guru Berbagi, Platform Merdeka Mengajar (PMM), webinar, dan komunitas belajar.
Dalam workshop pendidikan tentang sosialisasi Kurikulum Merdeka yang berlangsung di Kota Tangerang Selatan pada 28 Agustus 2023, Zulfikri Anas menyatakan bahwa meskipun informasi telah disebarluaskan, masih ada kekhawatiran di antara sekolah-sekolah tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakpastian dan keraguan mengenai efektivitas dan implementasi kurikulum baru, sehingga mereka belum merasa yakin untuk melaksanakannya. (sumber: Kemendikbudristek).
Tidak semua guru memiliki pelatihan yang memadai. Banyak guru yang mengaku belum mendapatkan pelatihan yang cukup komprehensif. Pelatihan yang disediakan cenderung singkat dan lebih teoritis daripada praktis.
Dalam banyak kasus, pelatihan yang diberikan kepada para guru dianggap kurang memadai. Beberapa guru di daerah terpencil, misalnya, mengaku hanya mendapatkan pelatihan selama dua hari tanpa ada tindak lanjut yang jelas. Pelatihan yang singkat dan cenderung teoretis ini membuat banyak guru kebingungan dalam menghadapi tuntutan untuk menjadi fasilitator pembelajaran yang lebih mandiri dan kreatif, seperti yang diharapkan dalam Kurikulum Merdeka.