Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Redefinisi Sekolah Aman: Stop Violence, Start Healing

3 Oktober 2024   13:04 Diperbarui: 3 Oktober 2024   13:09 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan pada anak di sekolah | Image by Indonesiabaik.id

Penyediaan konseling psikologis yang responsif dan ramah adalah salah satu pendekatan penting. Banyak korban kekerasan di sekolah merasa sendirian dan terisolasi karena tidak ada dukungan yang cukup dari pihak sekolah maupun teman-teman sebayanya.

Ilustrasi konseling psikologis | Image by Logos Indonesia
Ilustrasi konseling psikologis | Image by Logos Indonesia

Oleh karena itu, mendirikan unit layanan konseling yang berfokus pada pemulihan trauma serta pencegahan kekerasan harus menjadi prioritas setiap sekolah.

Selain itu, penting juga untuk melibatkan seluruh komponen sekolah dalam proses penyembuhan. Tidak cukup hanya memberikan bantuan kepada korban. Lingkungan yang sehat dan mendukung harus dibangun di seluruh sekolah, baik melalui program-program anti-bullying, pelatihan empati bagi siswa dan guru, maupun melalui sosialisasi tentang pentingnya kesehatan mental.

Ilustrasi peer counseling | Image by Work-Chorn
Ilustrasi peer counseling | Image by Work-Chorn

Program seperti peer counseling, di mana siswa dilatih untuk mendengarkan dan mendukung teman sebayanya, juga bisa membantu mengurangi isolasi dan meningkatkan rasa kepedulian antar siswa.

Membangun Budaya Sekolah yang Inklusif

Budaya sekolah yang inklusif adalah fondasi penting dalam menciptakan sekolah tanpa kekerasan. Budaya inklusif mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan, baik dalam hal latar belakang, etnisitas, keyakinan, maupun kemampuan individu.

Dengan mempromosikan rasa hormat dan empati, sekolah dapat mengurangi kecenderungan siswa untuk berperilaku agresif atau mendiskriminasi teman sekelasnya.

Untuk membangun budaya inklusif, sekolah harus melibatkan semua pihak, mulai dari guru, staf, hingga siswa. Guru harus berperan sebagai model perilaku positif dan mampu menciptakan suasana kelas yang mendukung perkembangan emosional siswa.

Pelatihan bagi guru terkait manajemen emosi dan deteksi dini tanda-tanda kekerasan juga sangat dibutuhkan. Siswa, di sisi lain, perlu dilibatkan dalam pembuatan aturan-aturan sekolah yang mencegah kekerasan.

Dengan melibatkan siswa secara aktif, mereka akan merasa memiliki tanggung jawab dan kepedulian yang lebih besar terhadap lingkungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun