Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diam yang Memekakkan, Ketika Suara Perempuan Terkubur dalam Ruang Publik

19 September 2024   21:10 Diperbarui: 19 September 2024   21:13 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era yang seharusnya dipenuhi oleh kemajuan dan keterbukaan, suara perempuan masih sering kali tersisih dalam ruang-ruang publik yang seharusnya inklusif.

Tidak hanya di negara-negara berkembang, bahkan di negara maju sekalipun, eksistensi perempuan dalam diskursus publik sering kali hanya sebatas formalitas, sementara pengaruh nyata mereka dalam proses pengambilan keputusan jauh dari signifikan.

Fenomena ini bukanlah hasil dari ketidakmampuan perempuan berbicara, melainkan dari berbagai hambatan struktural, budaya, dan sosial yang membuat suara mereka seakan terkubur dalam "diam" yang memekakkan.

Ruang Publik, Medan yang Tidak Setara

Ruang publik, sejak lama, telah didominasi oleh laki-laki. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial, laki-laki selalu memegang posisi sentral, sementara perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat di meja diskusi.

World Economic Forum mencatat bahwa hingga 2023, perempuan hanya menempati sekitar 22.1% kursi parlemen di seluruh dunia [1] . Ini bukan hanya angka, tetapi refleksi ketidaksetaraan yang sistematis, di mana perempuan masih sering dianggap tidak layak untuk menjadi pengambil keputusan pada level tertinggi.

Source: World Economic Forum, Global Gender Gap Index, 2023
Source: World Economic Forum, Global Gender Gap Index, 2023

Di banyak masyarakat, perempuan masih dibebani oleh ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk memprioritaskan peran domestik daripada publik. Mereka didorong untuk menjadi ibu, istri, dan penjaga rumah tangga terlebih dahulu, sebelum berpikir tentang karier atau ambisi di luar itu.

Padahal, potensi mereka dalam berbagai bidang sering kali sama, bahkan lebih unggul dibandingkan laki-laki. Namun, budaya patriarki yang mengakar kuat menjadikan kontribusi perempuan di ranah publik sering kali terpinggirkan.

Stigma Perempuan di Dunia Kerja

Tidak hanya dalam ranah politik, diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat jelas dalam dunia kerja. Meski jumlah perempuan yang bekerja terus meningkat, posisi-posisi strategis di puncak hierarki perusahaan masih didominasi oleh laki-laki.

UN Women melaporkan bahwa hanya 29,3% posisi manajerial di seluruh dunia ditempati oleh perempuan. Hal ini mencerminkan kesenjangan yang tajam antara jumlah perempuan yang bekerja dan kesempatan mereka untuk memimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun