Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Quiet Quitting, Ketika Generasi Muda Menolak Budaya Kerja Berlebihan

18 September 2024   17:40 Diperbarui: 18 September 2024   17:47 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Quiet Quitting | Image by The Citizen

Generasi muda tidak lagi mau hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kegagalan atau kekhawatiran bahwa mereka tidak cukup baik jika tidak selalu produktif. Bagi mereka, hidup harus lebih seimbang dan berfokus pada hal-hal yang benar-benar berarti, seperti kesehatan mental, hubungan personal, dan kebahagiaan.

Namun, apakah quiet quitting benar-benar solusi atas masalah ini? Sebagian pihak berpendapat bahwa fenomena ini adalah tanda dari meningkatnya rasa tidak puas terhadap dunia kerja. Banyak perusahaan yang masih mengukur kesuksesan karyawan berdasarkan jam kerja yang panjang, bukan hasil yang nyata.

Dalam budaya kerja seperti ini, pekerja yang menolak untuk bekerja lebih dari jam yang ditentukan seringkali dianggap kurang berkomitmen atau tidak ambisius. Padahal, karyawan yang mengambil langkah quiet quitting justru sedang berusaha menjaga kesehatan mental dan fisik mereka agar tetap produktif dalam jangka panjang.

Salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya quiet quitting adalah ketidakpuasan terhadap lingkungan kerja yang tidak adil. Ketika pekerja merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai atau tidak diberi kesempatan yang adil untuk berkembang, mereka mulai kehilangan motivasi.

Gaji yang stagnan, kurangnya kesempatan promosi, dan beban kerja yang tidak proporsional adalah beberapa alasan utama mengapa banyak pekerja muda memilih untuk menarik diri secara perlahan dari tekanan pekerjaan. Mereka merasa bahwa tidak ada gunanya memberikan segalanya untuk pekerjaan yang tidak memberikan imbalan yang setimpal.

Di sisi lain, beberapa pengusaha dan manajer memandang quiet quitting sebagai masalah yang harus diatasi. Mereka beranggapan bahwa fenomena ini mencerminkan rendahnya loyalitas dan komitmen terhadap perusahaan.

Ilustrasi lingkungan kerja Toxic | Image by Kompas.tv
Ilustrasi lingkungan kerja Toxic | Image by Kompas.tv

Dari perspektif manajemen, karyawan yang terlibat dalam quiet quitting dianggap kurang berkontribusi pada perkembangan perusahaan, dan mungkin bahkan dianggap sebagai beban bagi tim kerja.

Namun, perlu diingat bahwa loyalitas karyawan tidak datang begitu saja. Penghargaan yang layak, kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta kesempatan untuk berkembang adalah kunci untuk membangun loyalitas yang sesungguhnya.

Selain itu, quiet quitting juga bisa dilihat sebagai refleksi dari perubahan pandangan terhadap konsep kerja itu sendiri. Generasi muda saat ini cenderung lebih memilih fleksibilitas dan keseimbangan hidup daripada gaji yang tinggi atau jabatan yang prestisius.

Mereka menilai bahwa kesehatan mental, waktu bersama keluarga, dan pengalaman hidup lainnya jauh lebih berharga dibandingkan dengan penghargaan materi semata. Dalam hal ini, quiet quitting adalah bentuk negosiasi diam-diam yang dilakukan pekerja terhadap aturan main dunia kerja yang dianggap terlalu menuntut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun