Kita semua tentu pernah mendengar ungkapan seperti "Tetap berpikir positif!" atau "Jangan menyerah, semuanya akan baik-baik saja!" Kalimat-kalimat ini terdengar menenangkan dan berusaha memberikan semangat.
Namun, bagaimana jika kalimat-kalimat ini justru menjadi beban, seolah-olah kita dipaksa untuk selalu bahagia, tak peduli apapun yang sedang terjadi? Di sinilah muncul fenomena yang dikenal sebagai toxic positivity.
Menelusuri Fenomena Toxic Positivity
Toxic positivity bukanlah sekadar berpikir positif atau berusaha untuk melihat sisi baik dari segala hal. Pada dasarnya, toxic positivity adalah ketika sikap positif dipaksakan, tanpa memberi ruang bagi emosi negatif yang alami.
Ini adalah ekspektasi bahwa kita harus selalu bersikap ceria dan optimis, bahkan dalam situasi yang penuh kesulitan atau penderitaan. Sayangnya, pandangan ini justru dapat berujung pada penekanan atau pengabaian emosi negatif yang penting untuk diakui dan diproses.
Mungkin kita pernah berada dalam situasi di mana seseorang berkata, "Kamu harus bersyukur" saat kita sedang merasa sedih atau kecewa. Atau mungkin kita sendiri yang tanpa sadar mengatakan hal yang sama kepada orang lain dengan niat baik.
Namun, di balik niat baik tersebut, terdapat risiko mengabaikan kenyataan emosional seseorang. Akibatnya, individu tersebut bisa merasa tertekan untuk menekan perasaan negatif mereka demi memenuhi harapan untuk selalu tampak positif.
Mengapa Toxic Positivity Merugikan?
Menekan emosi negatif dengan berpura-pura semuanya baik-baik saja tidak hanya mengabaikan kenyataan, tetapi juga dapat menyebabkan stres tambahan. Ketika seseorang merasa tertekan atau cemas, dan mereka diberi tahu untuk "hanya berpikir positif", mereka mungkin merasa bersalah karena tidak mampu melakukannya.
Perasaan bersalah ini dapat memperburuk kondisi emosional yang sudah ada, menciptakan lingkaran setan di mana mereka merasa semakin terasing dari perasaan mereka sendiri.
Selain itu, toxic positivity dapat merusak hubungan. Ketika seseorang merasa tidak didengarkan atau dipahami karena orang di sekitarnya selalu berusaha mengarahkan percakapan ke arah yang positif, mereka mungkin akan mulai menarik diri.
Mereka merasa bahwa emosi mereka tidak valid atau bahwa mereka tidak bisa berbicara dengan jujur tentang apa yang mereka rasakan. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, karena tidak ada ruang untuk kejujuran emosional yang sesungguhnya.
Cara Mengenali dan Menghindari Toxic Positivity
Mengakui bahwa kita memiliki kecenderungan untuk mendorong toxic positivity adalah langkah pertama yang penting. Hal ini sering kali berasal dari niat baik kita ingin membantu orang lain merasa lebih baik.
Namun, penting untuk diingat bahwa perasaan negatif adalah bagian normal dari kehidupan, dan kadang-kadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk seseorang adalah hanya mendengarkan dan membiarkan mereka merasakan apa yang mereka rasakan.
Untuk menghindari toxic positivity, cobalah untuk memberikan ruang bagi semua jenis emosi, baik positif maupun negatif. Alih-alih mengatakan, "Kamu harus bersyukur" coba katakan, "Saya paham ini sulit untukmu. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu?" atau "Tidak apa-apa untuk merasa sedih, marah, atau kecewa".
Dengan mengakui dan menerima emosi negatif, kita memberikan diri kita sendiri dan orang lain kesempatan untuk benar-benar merasakan dan memproses perasaan tersebut. Ini tidak berarti kita harus tenggelam dalam negativitas, tetapi kita harus memberikan ruang bagi perasaan yang mungkin tidak nyaman. Kadang-kadang, hanya dengan mengakui bahwa semuanya tidak baik-baik saja sudah cukup untuk mengurangi beban emosional yang kita rasakan.
Memilih Empati di Atas Kepura-puraan
Kunci untuk mengatasi toxic positivity adalah empati. Empati berarti mendengarkan tanpa menghakimi, menerima tanpa memaksa perubahan, dan memberikan dukungan tanpa syarat.Â
Ketika kita berempati, kita tidak berusaha untuk memperbaiki perasaan orang lain dengan segera, melainkan kita hadir bersama mereka dalam perjalanan emosional mereka.
Mungkin lebih mudah untuk menawarkan kata-kata positif daripada menghadapi kenyataan yang sulit, tetapi dengan memilih empati, kita membantu orang lain merasa dilihat dan didengar. Ini adalah hadiah yang jauh lebih berharga daripada sekadar dorongan untuk "berpikir positif".
Menghargai Keragaman Emosi
Akhirnya, penting untuk diingat bahwa emosi kita adalah bagian dari pengalaman manusia yang kompleks dan beragam. Tidak ada emosi yang sepenuhnya baik atau buruk semuanya memiliki tempat dan fungsinya.Â
Rasa sedih mengajarkan kita tentang kehilangan dan ketahanan, sementara kemarahan dapat memotivasi kita untuk membuat perubahan. Dengan menerima seluruh spektrum emosi, kita tidak hanya menjadi lebih terhubung dengan diri kita sendiri, tetapi juga dengan orang-orang di sekitar kita.
***
Dalam dunia yang sering kali memuja kebahagiaan dan kesuksesan, mungkin terasa kontraintuitif untuk menerima dan menghargai emosi negatif. Namun, dengan melakukannya, kita menciptakan ruang bagi diri kita dan orang lain untuk tumbuh, belajar, dan benar-benar sembuh. Sebab, hanya dengan menghadapi kenyataan, baik itu indah maupun pahit, kita dapat menemukan kedamaian yang sejati dan otentik.
Daftar Bacaan
- https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-banten/baca-artikel/16298/Toxic-Positivity-dan-Bahayanya-dalam-Dunia-Kerja.htmlÂ
- https://www.psychologytoday.com/us/basics/toxic-positivityÂ
- https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H