Mohon tunggu...
Stephanie Woro Narriswari
Stephanie Woro Narriswari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

i just a little champion for my self. i love to read i love to write.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Primadona

22 Maret 2011   19:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Air matanya jatuh lebih deras ketimbang hujan rintik-rintik yang perlahan menyerbu mantelnya. Ia tidak peduli eyelinernya runtuh di wajahnya, lipstiknya coreng moreng di sekitar bibirnya, maskaranya yang lengket, rambutnya yang lepek karena air hujan.
Ia memejamkan mata, seakan mengingat sesuatu....
Suara musik pop dance menggairahkan ruangan dengan lampu temaram warna-warni. Seakan ruangan itu adalah suatu tempat bermain anak-anak, begitu banyak hiasan ceria disana, wallpaper bunga yang berwarna merah pink, sofa dalam bentuk macam-macam, dan para perempuan ayu duduk dengan wajah sumringah dan pakaian yang merayu.
Di suatu sudut, seorang primadona dengan gaun malam merah, mantel bulu di bahunya, sebuah hiasan bunga di kuping kanannya, belahan dadanya putih tampak bersinar, make-upnya tidak mampu menyaingi kecantikan alaminya, wajahnya dingin tanpa ekspresi.
Ia mencoba menyalakan rokok, gagal. Ia menghela nafas sebentar, mencoba menyalakan lagi. Ia menghirup dalam-dalam, seakan hirupan itu menjelaskan padanya tentang kesedihannya, menghembuskan asap rokok itu dari hidungnya dengan cepat dan lembut, seakan-akan itu adalah suatu kebebasan. Ia mencoba asyik dengan rokoknya, tapi gagal. Matanya tidak mampu menyembunyikan suatu kesedihan, sendu. Siapapun yang melihatnya akan terpesona, betapa seorang ayu bermata sendu.
Tak lama seorang pria maskulin, tinggi tampan dan berbau wangi menghampirinya. Memberi kecupan di bibir sang wanita namun meleset,
"Kau cantik," sang pria memuji lalu tersenyum licik.
Pria itu mempunyai sedikit kumis, dan cambang yang rata di dagunya. Ia terlihat kaya, dengan jas hitam kelam yang rapi, celananya masih ada bekas lipatan gosokan, ia begitu terawat. Umurnya mungkin sekitar 30 tahun lebih, suaranya berat, rokok selalu menyelip di mulutnya, sangat laki-laki.
"Selalu.....," primadona itu menjawab sembari tersenyum simpul, sungguh menawan.
"Mari kita pergi," ajak pria itu, meraih lembut tangan kanan sang primadona yang tengah diam di pahanya, yang walaupun tertutup gaun malam panjang tetap mengusik pria manapun untuk membukanya.
Sang primadona bangkit, membenarkan mantel bulunya. Ia berjalan tegak dengan suara sepatunya yang nyaring, siapapun menoleh untuk sekedar meliriknya. Si pria mengikuti di belakang, bagai anjing mendamba tulang.
Seorang pesuruh pria tersebut membukakan pintu mobil mewah milik pria itu untuk sang primadona, ia membungkuk. Sang primadona tersenyum, lalu masuk disusul oleh pria parlente tersebut.
Mereka diam sepanjang jalan, seakan asyik menonton masing-masing tontonan mereka di jalan. Sesekali si pria berdehem, mencoba menarik perhatian sang primadona. Namun sang primadona sunyi.

Sang primadona tahu kalau ia dicoba digoda oleh pria tersebut, namun sudah nalurinya untuk bersikap dingin, penuh misteri. Sang primadona memang terkenal lebih diantara teman-temannya lainnya, ia begitu dingin menawan. Seperti sebongkah es yang memendarkan cahaya yang bersembunyi didalam gelembung air beku es tersebut, ia begitu dingin tanpa memperlihatkan akan mencair. Banyak para lelaki hidung belang mencoba menggodanya, namun ia adalah ratu dalam istana, ia yang akan memilih siapa yang boleh menggodanya lebih dalam. Sang empu dalam istana itu pun kalah, hanya sang primadona yang boleh menentukan lelaki mana yang boleh menampakkan kejantanannya.
Mobil mewah itu berhenti di hotel kenamaan, mereka keluar dari mobil bersusulan, lalu memasuki hotel itu menuju restoran dengan bergandengan, selayaknya suami-istri terhormat. Banyak pasang mata menoleh pada mereka, terutama pada sang primadona, ia tahu ia diperhatikan, ia tersenyum.
Mereka duduk di suatu meja, si pria segera mengambil buku menu, seakan-akan ia sudah tak sabar ingin makan.

"Boeuf en Croute," si pria memesan, lalu menoleh pada sang primadona,


"Tortellini Pesto Salad," sang primadona menjawab.


"Hanya salad?," tanya si pria.


"Ya," jawab sang primadona pendek, lalu tersenyum.


"Aku sedang dalam masa diet," sang primadona melanjutkan.



Seorang pelayan lainnya datang, menawarkan wine untuk mereka, si pria mengangguk begitu juga sang primadona.



"Wow... Kenapa setiap wanita selalu peduli tentang diet? Seburuk apakah jika kalian, wanita tidak lagi mementingkan diet?," si pria tertawa mengejek.


"Seburuk kau tidak pernah mencapai kepuasan," jawab sang primadona menghentikan tertawa si pria.


Si pria diam sejenak, ia mencoba menyusun sebuah pertanyaan, pembalasan.


"Lalu, apakah jika kalian sedang berdiet, maksud-ku kamu, sanggup mencapai-kan kepuasan-ku?," si pria mengejek lagi.


"Sayangnya, aku harus menghabiskan salad-ku terlebih dahulu," sang primadona tersenyum menang, ketika pelayan membawakan pesanan mereka.



Mereka terdiam lagi, menikmati makanan mereka masing-masing.



Sang primadona, walau tampak elegan dan tenang, ia sebenarnya memperhatikan pria itu. Ini pertama kalinya ia melayani seorang pria yang tampak nakal namun banyak sekali penyangkalan atas ketidaksukaannya pada perilaku sang primadona. Biasanya pria lainnya selalu memuji apapun yang ia lakukan, tanpa mencoba memperdebatkan.



Si pria mengusap mulutnya dengan serbet, menandakan ia selesai makan, ia meneguk wine dalam gelasnya hingga habis. Lalu lekat-lekat menatap sang primadona, yang lamban laun mencoba menghabiskan saladnya.



"Aku tidak pernah tahu jika kalian bisa makan sebegitu sopannya," si pria memulai pembicaraan, namun merendahkan.


Sang primadona tampak kaget, ia melirik sebentar pada pria itu.


"Hanya segelintir orang yang merasakan menjadi kami, tapi makanan semua orang merasakannya, dan tidak hanya kalian yang boleh makan dengan cara yang sopan. Kami memang kotor.... tapi kami layak memperlakukan makanan ini sama dengan kalian yang mendapatkannya mungkin dengan cara bersih dan terhormat," sang primadona mengusap sekilas bibirnya, agar lipstik-nya tidak hilang dalam serbet, dan menyebabkan noda.



Si pria tersenyum, meraih gelasnya lalu mengangkatnya,



"Cheers."



Sang primadona menanggapi, lalu tersenyum melirik.



Si pria mengajak tergesa, mereka segera bangkit dari meja, lalu menuju lift.


Di dalam lift, lagi-lagi mereka terdiam.



"Aku belum pernah melakukannya," si pria memecah kesunyian.



"Hah..?," sang primadona nampak bingung.



"Aku adalah seorang suami yang seharusnya bahagia. Perkawinan kami baik, kami juga kaya, anak kami sehat dan terpelajar. Tapi entah mengapa aku ingin bercinta dengan perempuan yang bukan istriku," entah ada angin apa, si pria panjang lebar berkata, seakan ia mengasihani dirinya sendiri namun begitu sombong.



"Kamu mau tahu itu apa?," sang primadona tidak nampak kaget, menanggapinya.



"Mmm...?," lift berhenti.



"Itu adalah suatu gejala dimana kalian mulai merasa bahwa penis kalian adalah segalanya," sang primadona keluar dari lift mendahului si pria.



Si pria tampak kaget.



Mereka memasuki kamar deluxe, sangat luas dan sangat mewah. Berbagai perabot mahal tertata rapi.



Tanpa basa-basi sang primadona membuka mantel bulunya, lalu membuang hiasan bunga di telinganya, mencopot satu-persatu sepatunya, lalu membuka gaunnya dari atas sampai bawah. Begitu elegannya.



Si pria hanya terdiam menyaksikannya, tidak bisa dipungkiri ia terpesona oleh sempurnanya lekuk tubuh sang primadona itu. Ia menelan ludah, menandakan bernafsu. Namun ia mencoba menutpi nafsunya itu, ia memungut hiasan bunga yang dibuang oleh sang primadona itu, lalu menyematkannya lagi ke telinga kanannya.



"Aku lebih suka kau memakainya," si pria berujar, lalumeraba pipi sang primadona, tanganya terus me-liar, menuruni bahu lalu berhenti di pinggul.



Sang primadona tak mau kalah, ia memulai nafas yang menggebu-gebu, seakan-akan segera ingin melahap si pria. Sang primadona mendekat, ia mulai mengecup bibir pria itu tersebut, bibir itu disambut oleh bibir si pria. Mereka bergantian mencium, nafas menderu terdengar di sunyinya kamar itu.




Suara klakson mobil membuyarkan lamunan sang primadona, ia menyusuri jalan itu dengan tangis. Ia mencoba mengingat hal lainnya, namun yang terus muncul adalah rahang tampan si pria dengan cambang pendek rata. Tatapan matanya yang sombong namun tajam terus memburu sang primadona, seakan tak akan pernah lepas. Suara lenguhannya yang berat terus-menerus bermain dalam telinga sang primadona. Ia begitu tersiksa.



Ia terburu-buru mendatangi sebuah rumah dalam kawasan elite, sesuai dengan kartu nama yang ia pegang. Belum sedikit pun make-upnya tergores, belum setitik air matanya jatuh.



Ia memberanikan diri, memencet bel rumah yang tersembunyi dalam sebuah kotak yang muat untu satu jari telunjuk. Seorang perempuan cantik, muda, sumringah membukakan pintu.


Sang primadona hanya diam, mengamati perempuan itu, seakan terpesona.


Sang primadona merasa malu, terlambat ia akan melarikan diri.



"Hallo, ada yang bisa saya bantu?," tanya perempuan itu ramah, suaranya amat empuk.



Sang primadona hanya terpaku,



"Maaf, saya salah alamat," ia berlari menjauhi rumah itu.



Entah apa yang mendorong primadona itu berlari menjauh, apa yang membuatnya menjadi seorang pengecut, apa yang menyuruhnya untuk pergi tanpa berkata,



"Aku mengandung anak suamimu."


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun