Kasus Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan keliling yang diperkosa dan dibunuh, menyayat hati kita semua. Lebih dari sekadar berita kriminal, kasus ini menjadi cerminan kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan, khususnya mereka yang berada di lapisan terbawah masyarakat. Kematian Nia bukan sekadar statistik kejahatan; ia adalah tragedi kemanusiaan yang menuntut refleksi mendalam dan perubahan nyata.
Kasus pembunuhan Nia bermula ketika gadis tersebut dinyatakan hilang sejak Jumat, 6 September 2024. Nia disebut tidak pulang ke rumah usai menjajakan gorengan. Orang tua korban kemudian melaporkan kehilangan Nia ini ke perangkat nagari. Nia diketahui berasal dari keluarga kurang mampu. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Menurut seorang tetangga, Safril, sehari-hari Nia memang menjual gorengan yang dijajakan dengan berjalan kaki. Ia menduga korban telah diintai.
Tiga hari kemudian, pada Ahad, 8 September 2024, sekitar pukul 16.00 WIB, tim gabungan yang melakukan pencarian menemukan barang-barang korban di lahan perkebunan di Korong Pasa Gelombang, Nagari Kayu Tanam. Tim kemudian mendapati gundukan tanah mencurigakan. Setelah dibongkar ternyata di dalamnya terkubur jasad Nia. Lokasi penemuan jasad sekitar 500 meter dari kediaman korban. "Korban ditemukan dalam kondisi tanpa busana," ujar kata Kapolres Padang Pariaman, AKBP Faisol Amir, Ahad malam, 8 September 2024 seperti dilansir dari Langgam.id.
Faisol menyebutkan di sekitar lokasi penemuan jasad, juga ditemukan barang-barang milik Nia. Seperti jilbab, kain sarung, sendal dan tempat gorengan. Jasad Nia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Padang untuk dilakukan autopsi. Polisi masih melakukan serangkaian pemeriksaan dan menggali keterangan-keterangan saksi.
Terduga pelaku pembunuhan Nia Kurnia Sari,18 tahun, gadis penjual gorengan di Kayu Tanam, Padangpariaman, Sumatera Barat (Sumbar) akhirnya berhasil ditangkap pada Kamis, 19 September 2024. Pria inisal IS, 28 tahun, itu dibekuk di sebuah rumah kosong di kampung setempat setelah perburuan selama dua peka
Bayangkan, seorang gadis muda, penuh semangat dan bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dengan berjualan gorengan keliling. Ia mungkin memiliki mimpi-mimpi sederhana, mungkin ingin melanjutkan sekolah, mungkin ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, mimpinya dirampas secara brutal, dihancurkan oleh kejahatan yang mengerikan. Kepercayaan dan rasa amannya, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu, direnggut paksa.
Kejahatan seksual, apalagi yang berujung pada pembunuhan, bukanlah hal yang bisa dianggap biasa. Ini adalah tindakan biadab yang melanggar hak asasi manusia paling fundamental. Kasus Nia bukan kasus pertama, dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir. Banyak perempuan, khususnya mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi lemah dan hidup di lingkungan yang kurang aman, rentan menjadi korban kejahatan serupa. Mereka seringkali menjadi target empuk karena dianggap tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau melaporkan kejahatan yang dialaminya.
Yang lebih menyakitkan lagi, seringkali proses hukum yang seharusnya melindungi korban justru menjadi proses yang melelahkan dan penuh ketidakadilan. Perempuan korban kekerasan seksual seringkali mengalami pelecehan sekunder, baik dari pihak berwajib maupun masyarakat. Mereka dipertanyakan, dihakimi, bahkan disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka. Ini jelas sebuah ketidakadilan yang menambah beban penderitaan korban dan keluarganya.
Dalam kasus Nia, kita perlu menuntut keadilan secara tuntas. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, hukuman saja tidak cukup. Kita perlu menggali akar permasalahan yang menyebabkan kejadian ini terjadi. Mengapa perempuan, khususnya perempuan yang berasal dari kalangan kurang mampu, menjadi begitu rentan terhadap kekerasan?
Salah satu faktor penting adalah kesenjangan ekonomi dan sosial. Kemiskinan seringkali membuat perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Kurangnya akses pendidikan dan kesempatan kerja juga memperburuk situasi. Perempuan yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan seringkali terpaksa menerima pekerjaan yang berisiko, seperti berjualan di tempat-tempat yang sepi atau bekerja hingga larut malam.
Selain itu, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Pandangan yang merendahkan perempuan dan menganggap perempuan sebagai obyek seksual masih lazim ditemukan. Hal ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Pendidikan dan kampanye yang masif sangat diperlukan untuk mengubah mindset masyarakat dan menciptakan budaya yang lebih menghormati perempuan.