Koran Kompas dan Serambi Indonesia tergelatak di atas meja Kak Fatma. "Koran baru tuh, mbak," kata Bang Asri. Lembaran yang belum distaples itu masih tampak baru, belum ada seorangpun membukanya. "Nggak baru, Bang," kataku pada bang Asri. Ia langsung menyahut, "Baru tu..." Aku baru ingat, aku tidak sedang di Medan, atau di Banda Aceh. Aku sekarang masih di ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Koran Kompas 'baru' itu baru lewat tiga hari lalu. Kompas Selasa (16/11), berberita utama "Akhirnya Gayus Akui ke Bali" Di hari biasa, Kompas 'baru' biasa kami baca sehari setelah tanggal. Maklum saja, koran yang mulai terbit 28 Juni 1965 itu langsung dibawa dari Medan. Sedangkan untuk ke Medan dari Kota Naga Tapaktuan ini butuh waktu paling cepat 10 jam perjalanan darat. Pesawat kecil hanya tiba seminggu dua kali, Jumat dan Senin pagi dari Medan. Itupun sangat tergantung cuaca. Ketika Kompas sampai di Tapaktuan, orang telah berlebaran, tak mungkin lebaran tetap mengantar koran. Selalu harus bisa memaklumi di hari apapun. Terlebih lagi, dua hari lalu adalah lebaran haji. Teman-temanku yang asli wilayah ini menyebut, lebaran Idul Adha lebih meriah ketimbang lebaran Idul Fitri. Tidak cukup hanya sehari di hari H untuk merayakannya. "Kita saling mengunjungi sanak keluarga. Menghantar makanan," ujar Dian Senin malam lalu ketika datang ke mess mengantar tape ketan dan lemang. Satu hari menjelang lebaran, praktis orang sudah sibuk mempersiapkan hari besar qurban itu. Bahkan hari Senin lalu, bang Asri sempat tidak menganjurkan aku datang ke kecamatan untuk satu urusan. "Sudah nggak ada orang kerja, Mbak, orang be(r)pikirnya sudah persiapan lebaran." Toh Kompas hari Selasa lalu dan tiba hari Jumat ini tetap 'baru' untuk hari ini. Yap, sekalipun beberapa berita nyaris tidak up to date. Aku dan mbak Onik masih senang bisa memelototi foto-foto pengantin hasil kliknya mas Andreas Satrio Wibowo, dalam rubrik klinik fotografi. Aku bersyukur, hari ini aku masih bisa membaca Kompas edisi cetak. Kondisi lebih baik ketimbang ketika aku berada di sebuah kabupaten di Propinsi Jambi lalu. Mbak Sana teman sekantorku yang fasilitator kabupaten waktu itu berniat langganan Kompas malah dikatai penjualnya, "Yang ada koran x x x x, Yuk. Kalau mau langganan ya koran itu saja. Lebih x x x x ....Kompas idak berani jual, takut kami dikira ikut x x x x." x x x x-nya nggak kuisi ah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H