Mohon tunggu...
Ninuk Setya Utami
Ninuk Setya Utami Mohon Tunggu... lainnya -

Beberapa bulan ini nyari uang segede koran di salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Pengennya, bisa segera kembali ke Kepulauan Riau, atau bersua bersama saudara-saudaraku suku-suku termajinalkan di Indonesia. Berbagi kasih, berbagi keceriaan....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bawang Putih dan Indonesia di Pasar Jongke, Solo

10 Maret 2013   05:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:02 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362893827965637111

Cobo, Mbak, semene iki sewu! Reregan mundak kabeh koyo ngene kok Esbeye malah ngurus partai (Lihat ini. Segini kok seribu. Harga-harga naik semua kok Esbeye malah ngurus partai),” tutur seorang ibu yang kujumpai di Toko Budi.  Ia memperlihatkan padaku plastik untuk ukuran gula satu ons. Isinya satu siung besar sejempolku dan dua siung bawang putih kecil-kecil.

[caption id="attachment_241083" align="alignnone" width="448" caption="Diunduh dari ufitahir.wordpress.com"][/caption] “Lha iyo, rego (harga) bawang kok koyo (seperti) emas!” timpal ibu-ibu lain di toko yang sama. Mereka, juga aku tengah mengantri di toko kelontong milik Babae di Pasar Jongke, Solo.

Hmm, aku baru tahu kalau harga bawang putih segila itu. Di Jawa Barat, tiap kali beli makan di warung makan aku tidak mendapat cerita seperti itu.

Ki bawang ganti rego edan-edanan. Sedelo meneh mesti reregan liyo melu-melu mundak, Mbak (Sekarang harga bawang putih berganti gila-gilaan. Sebentar lagi pasti harga-harga lain ikutan naik),” ujar Ibu berpotongan rambut pendek yang memperlihatkan belanja bawangnya.

Wong nduwur ora kober ngurus rakyate meneh. Kudune koyo Esbeye ki tumindak! Ora mung ngurus Demokrat wae. Ngurusi rego bawang wae raiso! Ditekan po piye ben ora larang koyo ngene iki (Orang atas –pejabat Negara- tidak punya waktu mengurus rakyatnya lagi. Seharusnya Esbeye bertindak. Tidak hanya mengurus Demokrat saja. Mengurus harga bawang saja tidak bisa. Ditekan atau bagaimana agar harga bawang tidak seperti ini),” kata ibu kedua.

Percakapan itu makin seru. Kasus Hambalang yang melibatkan sejumlah pejabat teras Demokrat, Century, sampai korupsi di berbagai daerah menjadi perbincangan ibu-ibu dan Babae. Aku memperhatikan, sesekali nimbrung. Percakapan itu terus kurekam. Asyik juga….

Korupsi neng Indonesia kui nyenengke. Wong kurupsi milyaran mung didendo paling pirang atus yuto. Kudune bandane dijaluk kabeh nggo ngopeni negoro, ngopeni rakyat. Haning, sopo wonge sing korupsi due isen? Raenek. Raine malah sumringah sajak ngece rakyat. Nurani wes podo mati. Sing kaji akeh, ning bajingan kabeh (Korupsi di Indonesia itu menyenangkan. Orang korupsi milyaran hanya didenda ratusan juta. Seharusnya harta bendanya diminta semua untuk menghidupi Negara, buat menghidupi rakyat.  Tetapi, siapa yang malu korupsi? Tidak ada. Wajah mereka sumringah seperti mengejek rakyat. Nuraninya sudah mati. Yang sudah berhaji juga banyak, tapi bajingan semua).” Babae mulai serius.

“Kok ora eling, mbiyen ngemis karo rakyat ben dipilih. Bareng wes kepilih mung korupsi (Kok tidak ingat, dulu mengemis pada rakyat agar dipilih. Sekarang sudah terpilih hanya korupsi),” tambah Babae.

Ibu pembeli bawang itu membuat kami tertawa ketika dia tiba-tiba mengatakan, “Cobo duit sing do dirampok koruptor kui nggo tuku bawang. Gulung koming bawang tenan aku wisan (coba uang yang dirampok para koruptor dipakai untuk membeli bawang putih. Sudah bergelimang bawang saya…).”

Spontan ibu kedua menanyaiku. “Biyen sampeyan (Dulu kamu) nyoblos opo, Mbak?” Senyum-senyum kukatakan saya belum pernah milih siapapun.

Oh, apik kui. Ora melu ngunduh dosa^ –bacanya seperti mbah Marijan mengatakan rosa. Sesuk pemilu meneh mbuh milih sopo. Sok yo ora milih wae (Bagus itu. Tidak ikut memanen dosa. Besok pemilu lagi entah milih siapa. Mungkin juga tidak memilih saja),” ujar ibu kedua.

“ Sing do mlebu partai ora koyo biyen. Biyen penggede-penggede partai ki ngopeni partai. Yen saiki, do mlebu partai mung arep njikuk sak akeh-akehe koyone negoro. Duit nggo rakyate mung sak hhhgggg…kabeh dibadog koruptor (Orang-orang yang masuk partai tidak seperti jaman dulu. Dulu pembesar partai yang menghidupi partai. Sekarang ini orang masuk partai hanya untuk mengambil alih kekayaan Negara. Uang untuk rakyat hanya hhggg….semua dimakan koruptor),” tandas ibu pertama.

Rakyat ki dipateni alon-alon. Endi asset negoro sing didueni negoro? Tambang, sawit, nganti tekan banyu we kabeh wes didol! Wes radue opo-opo Indonesia ki. Opo ora ngeri? Mart-mart wes mblusuk kabeh neng kampung. Kui lak mateni wong cilik (Rakyat dibunuh pelan-pelan. Mana asset Negara yang masih dimiliki Negara? Tambang, sawit, sampai air pun sudah dijual. Indonesia sudah tidak punya apa-apa. Apakah tidak mengerikan? Mart-mart sudah berada di kampung-kampung. Itu kan membunuh orang kecil).”

“Mat opo, Bah (Mat apa)?” tanya ibu kedua memotong pembicaraan Babae.

Mart. Kui lho Indomaret, Alfa Mart. Wong cilik ki bakulan bathine ora sepiro a nggo urip. Dipateniok bakulane. Yen wong nduwuran teken OK, lurah iso opo? (Itu lho Indomaret, Alfa Mart. Orang kecil yang berjualan untungnya tidak seberapa untuk melanjutkan hidup, dibunuh hidupnya. Kalau orang ‘atas’ teken OK, lurah bisa apa?),” lanjut Babae.

“Bu Tarjo,” kata Cacik’e dari dalam tokonya. Aku lantas berpamitan pada ibu-ibu  yang masih asyik berbicara itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun