Istilah tunarungu diambil dari kata "tuna"dan "rungu", tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Seseorang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara yang pada umumnya ada pada ciri fisik oarng tunarungu. Seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan dalam mendengar atau menangkap suara. Hal tersebut terjadi karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran (telinga), sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya secara maksimal dalam berkomunikasi. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 234.200.000 jiwa, sedangkan jumlah tunarungu mencapai 1,25% atau 2.927.500 jiwa dari total jumlah penduduk di indonesia. Bagi para tunarungu komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam berinteraksi dengan masyarakat.
 Gorys Keraf (1997:1) menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Komunikasi secara verbal lancar menjadi masalah besar bagi tunarungu, oleh sebab itu dibutuhkan bahasa isyarat untuk membantu mereka berkomunikasi. Bahasa Isyarat yang digunakan tunarungu berupa BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem  Isyarat Bahasa Indonesia). Bahasa Isyarat yang  digunakan dan menjadi rujukan dalam proses pembelajaran adalah SIBI. Bahasa isyarat SIBI telah dibakukan dan diresmikan oleh KEMEDIKBUD (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Namun,  Siswa tunarungu kurang menyukai materi pembelajaran SIBI . Hal tersebut terjadi karena tidak adanya media yang menarik dan fleksibel dalam mempelajari materi tersebut, serta bukunya yang sangat tebal membuat paradigma anak menjadi negatif dan tidak mempunyai semangat dalam mempelajarinya.
Bahasa Isyarat BISINDO (Bahasa isyarat Indonesia) lebih disukai dan lebih mudah dipahami serta praktis. Berdasarkan data penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan di SLB Se-Kota Padang jumlah presentase SIBI tidak mudah untuk dipahami adalah sebesar 77.77% SIBI terkesan kaku dan tidak fleksibel 71,77% (Angga Nikola Fortuna, 2014: 677-682). Bahasa isyarat SIBI adalah bahasa isyarat pemersatu dari bahasa isyarat lainya dikarenakan setiap daerah memiliki bahasa isyarat yang berbeda. Melihat permasalahan yang terjadi saat ini,  kami tiga mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta (Popi Rahayu, Haryanto Adi Nugrogo, Fika Roudlotul Ilmi) membuat alat bernama Nari Balet (Dictionary Difabel Based Electronic ) untuk menjawab problematika tersebut. Nari Balet adalah sebuah sistem dari gabungan beberpa sistem berbentuk trainer yang dapat mengubah ucapan menjadi teks dan terdapat fitur untuk memplejari SIBI dengan rekaman Video. Konten kamus digital Nari Balet terdiri dari kata dasar, kata kerja, aktivitas sehari-hari, isyarat abjad jari, kata berimbuhan dan bilangan sebanyak 250 kata. Perkembanagn kognitif anak tunarungu  pada usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar kosakatanya sebanyak 250  kata. Teks yang dimunculkan berupa tulisan tegak bersambung untuk memudahkan tunarungu  dalam membaca kata tersebut. Nari Balet memiliki sistem yang diprogram untuk menjadi kamus tunarungu portable berbentuk digital untuk mendukung program pendidikan inklusif penyandang disabilitas berat. Pengembangan media pembelajaran ini sangat sesuai dengan kebutuhan dalam dunia  pendidikan dan sesuai dengan poin ke-4 SDGS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H