Mohon tunggu...
Narendra Ning Ampeldenta
Narendra Ning Ampeldenta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis tentang isu Politik, Sosial, dan hal-hal menarik lainnya.

Penulis Paruh Waktu, Pembelajar Sepanjang Waktu. Bangga Menjadi Anak Indonesia. Teknik Interdisiplin Hochschule RheinMain, Jerman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anomali Nafsu Manusia

9 Oktober 2018   22:05 Diperbarui: 9 Oktober 2018   22:06 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://mymodernmet.com/nunzio-paci-anatomical-illustrations/

Manusia tidak luput dari "Hawa Nafsu".  Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut.  Kata-kata tersebut merupakan serapan dari Bahasa Arab "hawa al-nafs" yang berarti keinginan (diri sendiri).  Dalam hal apapun, keinginan diri sendiri merupakan hal yang negatif, mengedepankan hal-hal yang bersifat subyektif.  Sikap subyektif sungguh merugikan, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang lain. 

Dalam mengutarakan pendapat atau pencarian sebuah kebenaran atau fakta, tentunya dibutuhkan sebuah pandangan dan sikap yang objektif, tidak untuk kepentingan diri sendiri tetapi memerhatikan kepentingan bersama.  Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut, karena mungkin kita sudah pernah menemukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia kerja, tidak sedikit orang yang "menjilat" demi posisi semata.  Nafsu Politisi untuk berkuasa dengan cara yang tidak baik yang tanpa sadar mereka lupa, mereka adalah orang-orang yang harus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat juga kodratnya untuk melayani masyarakat.  Terkadang bahkan nyawa pun seakan tiada harga oleh kepentingan yang dikuasi nafsu manusia.

Dalam sejarah, Sains dan Imperium pun merupakan sesuatu yang berkaitan erat.  William Jones, seorang cedekiawan imperialis, tiba di India pada tahun 1873 untuk mengabdi sebagai Mahkamah Agung di Benggala. Dalam perjalanannya, ia mendirikan Asiatic Society, sebuah organisasi akademik yang bertujuan untuk mempelajari kebudayaan, sejarah, dan masyarakat sekitar.  Lalu juga menerbitkan The Sankrit Language, yang didalamnya menunjukkan kemiripan-kemiripan mengejutkan antara bahasa Sansakerta, bahasa India kuno, juga bahasa Yunani dan Latin.

Karena hal tersebut, tentunya Linguistik menerima dukungan dari sebuah Imperium.  Imperium Eropa meyakini untuk bisa memerintah secara efektik dan menguasai suatu daerah jajahan, mereka harus mengetahui budaya dan bahasa daerah jajahan mereka.  Imperialis juga memanfaatkan Sains untuk tujuan-tujuan yang jahat.  Banyak cendekiawan yang sangat ambisius untuk menemukan siapa nenek-moyang dari penutur bahasa tersebut.

Mereka menyadari bahwa penutur Sansakerta pertama merupakan yang paling awal menyerbu India yang mereka yakini sebagai Bangsa Arya. Para cendekiawan Britania, Jerman, dan Prancis lalu memadukan antara teori seleksi alam Darwin dan teori Linguistik mengenai bangsa Arya. Sains, jika dipadukan dengan nafsu jahat manusia, tentunya bisa menjadi sesuatu yang mengerikan.  Bahkan, dibalik melonjaknya pamor Sains, sebuah kekuatan besar bernama "Kapitalisme" berdiri dibelakangnya.

Tanpa ada pebisnis yang mempunyai uang dan keinginan pribadi-pribadi tertentu, mungkin Kolumbus tidak akan sampai ke Amerika dan James Cook tidak akan sampai ke Australia.  Dalam kenyataan hari ini, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istilah Artificial Intelegence, kecerdasan  buatan.  Robot-robot dibuat semakin canggih,  sebuah perusahaan teknologi yang berbasis di Hongkong, Hanson Robotics, bahkan sudah mencipatkan sebuah robot bernama Sophia yang bisa berinteraksi dengan manusia.

Bahkan, pada tanggal 25 Oktober 2017, Sophia mendapatkan kewarganegaraan Saudi Arabia, yang menjadikkannya sebagai Robot pertama didunia yang memiliki status kewarganegaraan.  Bisa dibayangkan betapa berkembangnya teknologi dalam beberapa tahun kedepan, dan bisa dibayangkan juga jika kecanggihan teknologi dipakai untuk kepentingan nafsu buruk manusia belaka. Mungkin itulah yang dimaksud "Anomali Nafsu Manusia" .

Friedrich Nietzche, seorang filsuf Jerman, dalam buku Thus Spoke Zarahustra nya  mengatakan "Aku mencitai hutan, tidak enak tinggal di keramaian. Disana terlalu banyak orang yang bernafsu" .  Imam Ghazali pun pernah berkata , "Yang paling besar di Bumi ini bukan gunung dan lautan, melainkan hawa nafsu yang jika gagal dikendalikan, maka kita menjadi penghuni neraka" .

Semoga kita semua dilindungi dari segala "hawa nafsu" buruk yang bisa merugikan, dan selalu terdorong untuk berbuat kebaikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun