Ketika kadang pertemanan bersyarat, bahkan persaudaraan pun bisa bersyarat tapi saya tahu masih ada kasih yang tidak bersyarat.
 Status baru yang mulai kusandang sekitar 3 (tiga) tahun belakangan ini mengajarkan saya banyak hal. Bahwa tidak semua orang bisa menerima orang dengan status HIV Aids. Sebut saja sahabat saya, Nova, yang sudah saya kenal hampir 10 (sepuluh) tahun terakhir, dari jaman kami masih ingusan, dari jaman saya masih kuliah dan sama-sama meniti karir di bidang kami masing-masing. Dia adalah sahabat yang sudah seperti saudara bagi saya, bahkan sudah diperlakukan seperti anak oleh orang tua saya dan tidak jarang orang salah menilai bahwa kami memiliki hubungan khusus. Dia memang tahu orientasi saya sejak beberapa tahun kami mulai bersahabat karib, tahu semua dosa-dosa saya begitupun saya tahu dia. Sahabat yang begitu nyaman diajak jalan, diajak ngobrol dan curhat.Â
Saya begitu banyak belajar prinsip kehidupan denganmu mesti kita berbeda keyakinan. Sesudah kita terpisah oleh jarak dan kesibukan masing-masing, kita masih tetap setia keep in touch. Karena saya merasa bahwa kamu sosok yang menyenangkan, baik hati, lucu dan dewasa. Hingga kau memutuskan untuk menikah dengan sahabat kita, memiliki seorang anak yang lucu dan membentuk keluarga kecil yang begitu sejahtera aku pun turut berbahagia. Kita masih menyempatkan diri jika aku pulang kampung untuk berkunjung ke rumahmu, ke kotamu tempatku berobat belakangan ini.
Tapi semuanya berubah, semenjak aku tertular HIV dan aku menceritakan kepadamu kau ikut shock dan bersedih. Dimulai dari putusnya kontak kita, dengan alasan HP mu hilang? Mungkin memang hilang tapi aku berhasil menghubungimu lagi setelah beberapa lama kita tidak berkomunikasi, bukan karena sebuah tendensi apa-apa tapi karena aku memang menganggapmu sebagai saudaraku, saudara baikku. Apa kabarmu. Masih ingat dulu bahkan ketika kau sudah berumahtangga dan hamil aku masih sering berkunjung ke rumahmu bahkan menginap di sana.
 Tapi sepertinya semua berubah sekarang, saat kau tahu pasti bahwa aku sudah tinggal kembali ke kotaku yang jaraknya tak lebih dari lima puluh mill dari rumahmu. Dulu kau masih ingat saat kita ke salon bareng untuk sekedar potong rambut atau perawatan wajah? Hahaha, bergembira bersama-sama. Apa kau sudah lupa dulu juga kau sering bertukar pikiran denganku. Karena kau tahu pasti segala masalah yang kau hadapi akan lebih ringan jika ada sahabat yang memberikan masukan.Â
Dulu hanya dengan kode kata-kata bahwa aku kangen, kita langsung mengatur waktu untuk bisa jalan bareng sesibuk apapun kita dan sejauh apapun itu. Tapi sekarang aku tahu, kau memang sepertinya menghindar. Bukan salahmu sahabatku yang cantik, tapi karena kesalahanku, salahku menjadi seorang pengidap HIV. Seandainya aku ada di posisimu mungkin aku juga akan lebih memilih untuk tidak bergaul dengan ODHA, apalagi sebagai seorang ibu muda yang kuatir akan anak balitanya. Walau sebenarnya tidak mudah untuk kasus penularan virus ini. Mungkin kau hanya berhati-hati demi kebaikan keluarga kecilmu.
Kau dulu yang pernah bilang bahwa sikap kita tidak bisa menentukan sikap orang lain kepada kita. Sekarang aku tahu bahwa aku pun tak bisa menentukan sikapmu padaku, seakrab apapun kita dulu, sedekat apapun persahabatan kita dulu.
Terimakasih sahabat. Semoga hidup rumah tangga dan karirmu senantiasa dilancarkan ya. Aku tak mau sedini ini menilai bahwa kau tidak mau lagi bergaul denganku, tapi aku harus belajar tahu diri. Sampai kapanpun kau akan tetap jadi saudara baikku. Salam rindu dariku, sahabatku yang baik semoga kau dijauhkan dari segala hal yang tidak baik.
Melalui kisah hidup saya ini, saya belajar untuk tidak sembarangan menceritakan status saya kepada orang lain yang tidak berkepentingan. Selain tim medis yang menangani kesehatan saya pastinya, kemudian keluarga yang juga berkepentingan untuk memonitor kesehatan saya, itupun tidak semua keluarga inti saya yang tahu. Lalu kepada teman-teman dekat dengan pola perilaku resiko yang sama supaya mereka lebih waspada akan bahaya penularan HIV Aids. Selanjutnya kepada beberapa orang dekat saya dengan spekulasi adanya stigma maupun diskriminasi terhadap saya, tapi itu resiko yang harus saya tanggung. It's okay, saya harus kuat menjalani kehidupan kala ketulusan mereka teruji dengan status penyakit saya. Mungkin pengalaman saya jauh lebih beruntung dibandingkan orang lain. Bahkan ada pula teman saya yang sampai dijauhi saudara kandungnya karena status barunya, entah bagaimana sulitnya merasakan stigma dari keluarga sendiri.Â
Harapan saya hingga kini tetap sama supaya tidak perlu ada "Narendra-Narendra" lain di kemudian hari. Salam sehat dari saya seorang pengidap HIV yang berjuang untuk tetap kuat walau kadang sering merasa ditinggalkan bahkan merasa diperlakukan dengan tidak adil. Inilah kehidupan yang tidak pernah bisa diulang, belajar dari masa lalu demi masa depan saya yang masih tersisa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI