Mohon tunggu...
Narendra Ardhana
Narendra Ardhana Mohon Tunggu... Akuntan - ODHA

(bukan nama sebenarnya) tidak ada yang berbeda dengan saya, saya hanya seorang pengidap HIV (ODHA) yang terdiagnosa sejak awal 2014 ketika berusia 26 tahun dan menjalani terapi ARV hingga saat ini. Masih aktif bekerja full time sebagai back office, sedang belajar berwirausaha dan tidak di bawah naungan suatu lembaga atau yayasan sosial ODHA. Bagi yang ingin sekedar berbagi cerita, saran dan kritik bisa melalui email narendra.ardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna 1 Desember Bagi Saya

2 Desember 2016   00:06 Diperbarui: 2 Desember 2016   00:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah hampir akhir tahun, kalau sudah mau memasuki akhir tahun seperti ini yang teringat adalah tanggal 1 Desember. Bagi saya yang notabene seorang pengidap HIV tentu seperti merayakan hari ulang tahun. Pertanyaannya bukan lagi kenapa tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari AIDS sedunia, karena sejarah penetapan tanggal itu sudah sangat banyak artikel yang bisa kita akses untuk menambah wawasan kita. Saya rasa lebih original dan cukup mengedukasi seandainya saya kembali menceritakan pengalaman hidup saya secara singkat.

Apa yang terjadi dengan saya?
 Saya menyadari bahwa ada kekhususan orientasi seksual dalam diri saya, setelah terjatuh akhirnya saya melampiaskan diri pada kehidupan seks bebas sesama jenis dengan tidak aman.

Apakah saya tidak diedukasi dengan baik mengenai HIV?
Sama sekali tidak benar karena bahkan menjelang masa pubertas pun saya masih ingat ketika di sekolah ada seminar khusus mengenai HIV, penyebabnya, penyebarannya, penanggulangannya hingga perbedaan antara HIV dengan AIDS.

Lantas kalau sudah paham kenapa masih bisa tertular?
Berawal dari coba-coba, sok tau, iseng, ngeyel lalu jadi ngga peduli dengan resikonya. Sok tau kalau partner saya berbadan bersih dan nampak sehat belum tentu tidak mengidap HIV apalagi orang-orang yang memiliki pengalaman gaya hidup LGBT. Iseng karena saya pikir main sekali dua kali tanpa pengaman pasti ngga akan semudah itu tertular HIV. Kalau sudah begitu jadi mentah pernyataannya bahwa sebenarnya saya gagal paham mengenai penyebaran HIV.

Bagaimana gejala yang saya alami ketika tertular HIV?
Saya tidak tahu pasti karena memang gejalanya seperti gejala sakit biasa pada awalnya hingga sembuh seperti sedia kala. Sampai akhirnya saya tertular Human Pappillomavirus (HPV), aduh males deh kalau ingat hal itu, musti bolak balik ke rumah sakit seminggu sekali maksud saya biar cepet sembuh dengan berbagai tindakan medis. Pas positif terinfeksi HPV itu lah kemudian saya diminta untuk test darah di poli VCT maksudnya biar tahu apakah saya terinfeksi HIV atau tidak. Memang ngga langsung percaya dengan hasilnya sehingga saya mengulangi test darah di layanan kesehatan yang lain, tapi rejeki sudah ada yang ngatur dan jatah saya terinfeksi HIV. Ini bukan seperti undingan acak tapi saya yakin ada maksud dan tujuan tertentu buat saya pribadi.

Bagaimana perasaannya ketika tahu terinfeksi HIV?
Seperti mimpi buruk di malam hari. Ngga napsu makan beberapa hari, ngga ada gairah hidup, saya merasa ngga punya masa depan lagi.

Lalu bagaimana saya bisa bangkit?
Malam itu yang saya ingat hanya ibu saya, kasian beliau yang sudah bertaruh nyawa melahirkan saya dalam keadaan bersih kog bisa-bisanya saya mengecewakannya. Saya memotivasi diri sendiri bahwa saya harus bertanggungjawab dengan sisa hidup saya menjadi seorang yang hidup positif.

Bagaimana keadaan saya sekarang?
Setelah pengobatan ARV selama 2 (dua) tahun saya melakukan test viral load dan hasilnya virus tidak terdeteksi. Tapi bukan berarti saya bebas dari HIV ya, kurang lebih artinya jumlah virus dalam darah saya pada satuan terkecil yang tidak lagi bisa terdeteksi oleh alat ukur jumlah virus dalam darah sehingga saya harus tetap setia dengan pengobatan ARV. Walaupun begitu rasanya itu seperti punya pacar baru yang keren, lega setelah penantian selama ini walau bukan berarti saya sembuh tapi setidaknya saya tahu bahwa resiko penularan HIV kepada orang lain melalui tubuh saya menjadi minim. Saya hidup normal dan tidak tampak seperti orang sakit kog. Saya bekerja seperti orang lain, bisa beraktifitas seperti orang sehat.

Well, niatnya tulisan saya sebenarnya sampai di sini saja tapi saat saya login akun kompasiana untuk upload artikel saya ini ternyata ada beberapa pesan yang masuk dari beberapa bulan lalu. Maaf ya, karena jarang buka akun jadi baru tahu sekarang. Salah satu pesan yang masuk dari seseorang yang tidak saya kenal walau sepertinya tampak tidak asing bagi saya, pesannya adalah tentang ketuhanan, pasang surut relasi saya dengan Tuhan. 

Baiklah sebelum kepala saya panas dan ngga kuat lagi akibat efavirens yang baru saja saya minum, saya akan menceritakan sedikit mengenai relasi saya dengan Tuhan. Memang sebenarnya saya agak takut untuk menuliskannya, takut jadi issue yang mengarah ke SARA. Atau bahkan dikira propaganda salah satu agama dan jatuhnya jadi sensitif nantinya, oleh karena itu saya akan menceritakan hal ini secara umum saja.

Semenjak saya memutuskan untuk pulang kampung, saya merasa ada kekosongan dalam batin saya. Rasanya hambar, seperti berjalan dalam lorong gelap yang ngga tau kapan ada ujungnya, apakah ujungnya terang ataukah buntu. Untuk seketika waktu saya memilih untuk setia dengan kegiatan ibadah saya walau dalam hati merasa sunyi sampai saya merasa lelah dan jenuh. Setelahnya kurang lebih hampir satu tahun saya memutuskan untuk mogok beribadah, saya tidak berdoa, saya tidak mau membaca kitab suci, saya meninggalkan rutinitas rohani saya, sampai-sampai sering timbul pertanyaan dalam hati saya sebenarnya Tuhan itu ada atau tidak ya. Kenapa saya merasa ditinggalkan sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun