Mohon tunggu...
Narendra Ardhana
Narendra Ardhana Mohon Tunggu... Akuntan - ODHA

(bukan nama sebenarnya) tidak ada yang berbeda dengan saya, saya hanya seorang pengidap HIV (ODHA) yang terdiagnosa sejak awal 2014 ketika berusia 26 tahun dan menjalani terapi ARV hingga saat ini. Masih aktif bekerja full time sebagai back office, sedang belajar berwirausaha dan tidak di bawah naungan suatu lembaga atau yayasan sosial ODHA. Bagi yang ingin sekedar berbagi cerita, saran dan kritik bisa melalui email narendra.ardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Hebat Itu adalah Ibuku

25 Juni 2017   00:14 Diperbarui: 12 Juli 2017   23:01 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengidap HIV, hidup saya hancur. Masa depan saya sirna?
 Saya pikir hal yang wajar apabila ketakutan-ketakutan seperti itu yang dialami oleh pengidap HIV di masa-masa awal ketika mengetahui status barunya, dulu ketika awal-awal penyesuaian status saya juga sering menangis ketika malam hari atau ketika sedang sendirian. Saya berharap semua akan kembali seperti semula, ketika malam hari datang dan saya ingin cepat tidur, berharap ketika terbangun di pagi hari semuanya tidak pernah terjadi. Bahkan hampir satu tahun masa-masa penyesuaian itu saya lewati. Dulu saya juga berpikir bahwa hidup saya hancur, masa depan saya hancur dan saya tidak tahu harus bagaimana menceritakan ke orang tua saya atau apakah saya perlu menceritakan kepada mereka.

 Tapi saya bersyukur karena saya mempunyai ibu yang hebat, meski awalnya beliau terpukul. Lama kelamaan beliau tetap menerima saya apa adanya, bahkan akhirnya tidak mempermasalahkan orientasi seksual saya. Bukan berarti beliau merestui saya berperilaku menyimpang tapi justru selalu menjaga saya supaya tidak terjatuh lagi.

 Persis hampir 3 tahun yang lalu, saya harus opname di rumah sakit dengan status HIV Stadium 3. Beberapa minggu terbaring lemah, bernafas dengan bantuan selang oksigen, pandangan mata saya kabur, jangankan bisa berjalan dengan tegak, duduk pun kepala saya pusing dan perut saya selalu mual. Saya tidak tahu apakah saya bisa bertahan waktu itu, dan beberapa kali saya meminta ibu saya untuk mengikhlaskan saya pergi karena saya sudah tidak kuat lagi. Tapi dia tetap meminta saya untuk bertahan dan bertanggung jawab. Bertanggung jawab menyelesaikan pertandingan hidup saya menjadi sebuah pertandingan yang baik sebelum saya pada akhirnya nanti pergi.

 Saya akhirnya memilih untuk semangat sembuh. Saya harus pulih untuk memenuhi harapan ibu saya. Sampai saat ini bagi beliau selalu ada mukjizat kesembuhan bagi saya. Supaya saya sembuh sepenuhnya.

 Beberapa bulan kemudian meski saya belum pulih sepenuhnya saya memaksa untuk kembali bekerja karena saya merasa bosan kalau harus tinggal di rumah saja. Dan saya juga tidak mau jadi beban siapapun selagi saya hidup. Tetapi justru saya yang harus jadi berkat buat orang lain terutama keluarga saya.

 Saya bersyukur pada akhirnya memang saya pulih seperti orang normal lainnya, paru-paru saya sembuh dan saya pun terbebas dari HPV. Setelah hampir 2 (dua) tahun pengobatan ARV, saya diminta dokter untuk test viral load dan hasilnya virus sudah tidak terdeteksi oleh alat ukur pada satuan tertentu. Seiring dengan kenaikan jumlah CD4 saya setiap periode pemeriksaan. Saya pun tetap menjalani pengobatan terapi ARV karena status undetect bukan berarti tidak ada lagi HIV dalam tubuh saya, tapi anugerah kesehatan yang sudah saya dapatkan hingga saat ini adalah sesuatu hal yang sangat meringankan beban saya.

 Saya menjalani hidup saya seperti orang normal lainnya, tetap memilih untuk produktif. Saya percaya semua ini juga karena doa ibu saya, perempuan hebat yang sekalipun pendidikan akademisnya tidak tinggi, profesinya pun hanya sebagai ibu rumah tangga, tapi saya bangga pada beliau dan sangat bersyukur karena Tuhan menganugerahkan beliau di antara miliaran wanita di dunia ini untuk menjadi ibu saya.

 Menjadi seorang pengidap HIV bukan berarti hidup saya hancur, bukan berarti saya tidak memiliki masa depan lagi. Semua ini tidak akan berjalan dengan mudah apabila tidak ada ibu saya di samping saya.

 ******
 Untuk perempuan yang selalu menyebut namaku dalam doanya
 Tiada lelah terpancar dari matamu di usia senja
 Tak terlewatkan satu hari pun dayamu bagi masa depanku
 Menikmati peran muliamu untuk memberikan yang terbaik bagiku

 Untuk perempuan yang setia sampai senja datang kau menahan lapar demi tirakatmu bagi keluarga
 Yang selalu mempertahankanku pada keyakinannya
 Darinya selalu ada harapan, pertimbangan dan kasih sayang
 Tak sedetik pun engkau menyerah pada keterbatasan

 Untuk perempuan yang tak pernah mengeluh pada keadaan
 Yang tak pernah membiarkanku mencari bahagia dengan cara yang salah
 Menjagaku selalu seperti bayi kecilnya
 Kebenaran yang selalu kau perjuangkan dan tiada cela dalam hatimu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun