Kemarin pagi saya serasa ditampar ketika membaca sebuah surat elektronik dari milis keluarga. Judulnya singkat, seperti judul tulisan ini: "Urip iku urup". Namun maknanya begitu menyentuh hingga ke relung nurani.
Di dalamnya bercerita tentang Mbilung, tokoh dalam pewayangan yang bertindak seperti Semar dan anak-anaknya (Punakawan), namun berada pada sisi musuh atau kelompok yang digambarkan sebagai kelompok jahat.
Dikisahkan bahwa walau mengabdi pada raja-raja dan kelompok jahat, namun Mbilung dan kakaknya Togog selalu menyuarakan kebenaran. Ia mengkritisi tingkah polah tuannya dan memohon pada para dewa untuk mengembalikan tuan-tuannya ke jalan yang benar. Dan memang sampai cerita wayang ditutup, tugas kakak-adik tersebut digambarkan sia-sia.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?
Urip iku urup bermakna hidup itu harus menyala. "Urup" bukan hanya diartikan sebagai "bersinar", "membara", atau "mempunyai terang" saja. Tapi juga bermakna "bermanfaat bagi sesama", "bermanfaat bagi dunia". Ini yang menampar saya.
Bertahun lalu saya berkenalan dengan sebuah kata: "tikkun olam" yang kurang lebih berarti "memperbaiki dunia" atau "mengobati dunia". Walau terdengar begitu besar dan mulia, tikkun olam tidak melulu tentang hal besar yang tidak mampu dilakukan oleh individu-individu. Tikkun olam dapat dilakukan mulai dari hal kecil, misalnya mematikan lampu yang tidak diperlukan, menghemat penggunaan air, memberi tempat pada hewan yang teraniaya, bahkan tidak berbuat jahat pada sesama saja bisa dikatakan sebagai tindakan mengobati dunia.
Inilah yang menampar, karena saya lebih sering memikirkan diri sendiri. Semua berfokus pada diri sendiri. Tidak peduli pada orang-orang di sekitar. Selalu berpikir bagaimana cara agar lebih banyak uang, lebih banyak punya tabungan, tanpa berpikir apa manfaat saya bagi orang lain atau setidaknya orang-orang di sekitar saya.
Tidak hanya itu, seringkali saya bersibuk mengutuki keadaan. Keadaan negara yang tidak kunjung lepas dari jerat korupsi, keadaan lingkungan yang makin hari makin panas, keadaan jalan yang makin lama makin macet, dan semua keadaan yang menurut saya tidak nyaman. Tapi saya lupa bertindak untuk berguna bagi mengatasi keadaan yang sibuk saya kutuki itu.
Mungkin memang ada baiknya saya belajar dari tokoh Mbilung yang walau sering dilupakan dalam kisah-kisah pewayangan, namun membawa nilai-nilai luhur. Bahwa walau berada dalam situasi yang begitu jahiliyah, ia tetap menyuarakan kebenaran. Sekali lagi, urip iku urup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H