Mohon tunggu...
Kicau Kacau
Kicau Kacau Mohon Tunggu... Administrasi - Pecinta Bintang

Seorang petani yang gemar memasak, penikmat petualangan yang gemar pamer foto, pemilik kedai kopi yang gemar menulis, penggemar film yang terobsesi pada Kubrick dan Tarkovsky, belakangan menjadi penikmat dan pecinta bintang. Kontak saya di: hello@ruangwaktu.id Blog: https://ruangwaktu.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Angin Sudah Berubah, Bung!

3 November 2019   11:12 Diperbarui: 3 November 2019   11:21 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"The future's in the air, I can feel it everywhere, blowing with the wind of change"

Kata-kata di atas adalah kutipan dari lagu berjudul "Wind of Change" yang dirilis oleh sebuah band rock asal Jerman Scorpion pada tahun 90-an, saat Uni Soviet pecah dan angin perubahan bertiup di mana-mana di dunia menandai akhir dari perang dingin yang telah membelah dunia selama bertahun-tahun.

Kini, rasanya lagu itu tetap relevan. Kalau di tahun 90-an Scorpion merasakan adanya angin perubahan, maka belakangan banyak orang yang bilang bahwa "the change is now" alias perubahan itu adalah sekarang. Apa yang berubah?

Dekade belakangan begitu banyak yang berubah. Diperkenalkannya internet dan makin terjangkaunya harga maupun akses terhadapnya membuat arus informasi makin cepat, dunia makin terasa kecil, dan segalanya bergerak ke arah digital. Itulah yang kemudian mengubah cara hidup banyak orang. Yang tadinya harus berangkat pagi pulang malam untuk bekerja di kantor, berjibaku dengan macet dan berhimpitan di angkutan umum, kini bisa tanpa harus ke mana-mana bekerja di atas tempat tidur dengan hanya membuka laptop dan tersambung ke internet.

Dunia digital atau yang dikenal dengan dunia "online-online" itu juga membawa konsekuensi bahwa arus informasi jadi makin cepat dan terbuka. Bila tak ada informasi dari satu tempat, orang akan membuka informasi dari tempat lain. Tak ada yang bisa ditutup-tutupi. Semua akan terbuka pada akhirnya.

Digitalisasipun merambah ke pelayanan publik. Ini menggemparkan untuk negara dunia ketiga macam Indonesia. Layanan publik yang tadinya selalu terasa tidak jelas karena "tertutup" kini sedikit demi sedikit mulai terkuak. Tak usah terlalu jauh, nomor antrean yang didigitalisasi saja sudah membuat wajah pelayanan publik jadi berubah total. Yang tadinya bisa menyalip antrean dengan memberi "salam tempel", kini sudah mulai terkikis dengan semua orang harus mendaftar lewat aplikasi dan di dunia digital tak ada istilah "salam tempel". Semua terstruktur dan adil. Siapa cepat, dia yang akan dapat layanan duluan. Hukum rimba yang selalu memenangkan siapa yang kuat dan mengorbankan siapa yang tak punya kuasa bisa terkikis oleh sistem digital.

Belakangan, yang tak kalah menggemparkan adalah, digitalisasi dalam hal tata kelola pemerintahan. Saat ini beberapa kota besar mulai menerapkan sistem e-budgeting alias penganggaran yang dilakukan secara elektronik. Sistem ini lagi-lagi tidak membiarkan orang berlaku seenaknya. Dunia digital, seperti yang saya bilang tadi, tak mengenal "salam tempel", semua harus dilakukan menurut sistem yang sudah terbentuk. Semua harus dimasukkan secara rinci. Tanpa ampun! Maka bila ada orang yang serampangan melakukan "kebiasaan lama" yang seenaknya saja menganggarkan sesuatu yang tidak seharusnya dianggarkan, semua mata akan melihatnya.

Pembelaan bahwa mata anggaran yang diisikan ke formulir anggaran elektronik hanyalah bersifat sementara karena menunggu mata anggaran riilnya adalah pembelaan yang tak dapat diterima oleh akal sehat dunia digital. Namanya saja anggaran, harusnya ya dimulai dengan perencanaan  dong. Kalau tak ada perencanaan maka yang terjadi ya begitu itu. Pokoknya masukkan saja dulu mata anggarannya secara "serampangan", yang penting jumlah uang yang diminta muncul dulu. Nanti baru belakangan dipecah-pecah mau untuk apa saja uang itu. Jelas cara penganggaran yang demikian adalah cerminan tidak adanya perencanaan yang jelas.

Ingatlah Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, uang yang hendak kalian belanjakan itu bukan uang pribadi. Uang itu adalah uang rakyat yang kalau Anda mau sedikit membuka mata, masih banyak yang berada pada bahkan di bawah garis kemiskinan. Uang rakyat harusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Untuk itu berhati-hati dan pakailah hati dalam memakainya.

Angin sudah berubah, Bung! Akses informasi sudah makin terbuka. Tak boleh lagi bekerja serampangan dalam mengurus rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun